DIRJEN BINA PENTA: PENGENDALIAN TKI BERMASALAH HARUS TERUS DILAKUKAN

id

     Mataram, 11/5 (ANTARA) - Dirjen Bina Penempatan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi DR Reyna Usman mengatakan, upaya pengendalian Tenaga Kerja Indonesia bermasalah harus terus dilakukan yang dilandasi keterpaduan pihak-pihak terkait.
     "Harus terus dilakukan secara terpadu pihak-pihak terkait dari pusat, provinsi hingga kabupaten/kota, agar TKI yang hendak ditempatkan di luar negeri lebih siap, sementara pemberangkatan ilegal berkurang," kata Reyna usai penyerahan bantuan kemanusiaan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat.
     Reyna menyerahkan bantuan kemanusiaan kepada sanak keluarga dari tiga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tewas ditembak Polisi Diraja Malaysia di Negeri Sembilan, 22 Maret 2012.
     Bantuan kemanusiaan itu berupa uang tunai sebesar Rp17 juta/keluarga itu bersumber dari Kemnakertrans masing-masing sebesar Rp5 juta sehingga totalnya sebesar Rp15 juta, dan PT Jamsostek (Persero) Cabang NTB masing-masing sebesar Rp2 juta sehingga totalnya sebesar Rp6 juta, serta PT Paladin Internasional Cabang NTB sebesar Rp10 juta sehingga totalnya sebesar Rp30 juta.
     Ketiga TKI korban tewas tertembak itu yakni Mad Noor (28), warga Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, dan Herman (34) serta Abdul Kadir Jaelani (25). Herman dan Jaelani merupakan paman dan keponakan, warga Dusun Pancor Kopong Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lotim.
     Bantuan kemanusiaan itu diterima Nurmawi (kakak dari Mad Noor), H Ma'sum (ayah dari Herman) dan Tohri (kakak dari Abdul Kadir Jaelani). Mardiah (21) selaku istri dari Herman juga hadir bersama anaknya Putri yang baru berusia 1,5 tahun.
     Reyna mengakui, selama ini upaya pengendalian TKI bermasalah belum maksimal, sehingga masih saja mencuat beragam permasalahan TKI hanya karena persoalan yang semestinya tidak perlu terjadi.
     Ia menyebut TKI bermasalah di luar negeri antara lain karena kualifikasinya rendah, pemahaman aturan tenaga kerja di negara tujuan penempatan masih kurang, dan dokumen perjalanan antarnegara untuk tujuan bekerja yang seringkali disepelekan.
     Tidak sedikit TKI yang masuk ke Malaysia menggunakan visa kunjungan sosial budaya, kemudian bekerja di sana. Pengguna tenaga kerja atau majikannya pun tidak mempersoalkan legalitas visa itu.
     "Semestinya, kualifikasi TKI standar atau disesuaikan dengan kebutuhan negara tujuan penempatan, pemahaman aturan di negara tujuan juga harus baik. Intinya, jangan menimbulkan kesan penempatan TKI yang belum siap atau terburu-buru," ujarnya.
     Menurut Reyna, sudah saatnya upaya pengendalian TKI bermasalah itu dilakukan secara masiv yang melibatkan pihak-pihak terkait secara berjenjang dari daerah asal TKI (kabupaten/kota), provinsi hingga pusat.
     Sosialisasi tentang syarat menjadi TKI, kelengkapan dokumen, hingga keahlian calon TKI, dan pemahaman tentang aturan yang berlaku di negara tujuan penempatan TKI, harus terus digalakkan.
     "Kami sudah minta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di daerah agar lebih agresif mensosialisasikan pengendalian TKI bermasalah itu. Kementerian pun berupaya sesuai kewenangannya. Dengan begitu, calon TKI yang hendak diberangkatkan secara ilegal pun dapat mengurungkan niat itu," ujarnya.
(*)