PRODUSEN SEMEN: KENAIKAN HARGA WAJAR

id

Surabaya (ANTARA) - Produsen semen nasional menilai kenaikan harga semen saat ini merupakan hal wajar, karena kenaikan tersebut didasarkan atas berbagai pertimbangan.

"Salah satu pertimbangan, yakni komponen untuk energi. Komponen perhitungan itu sangat mempengaruhi penentuan harga semen, sehingga atas dasar itulah kenaikan harga yang berlaku saat ini adalah wajar," kata Kepala Divisi Komunikasi, PT Semen Gresik (Persero) Tbk, Saifuddin Zuhri, di Surabaya, Senin.

Menurut dia, kini Semen Gresik memanfaatkan energi batu bara. Karena harga batu bara beberapa saat lalu mengalami kenaikan, hal itu yang tidak boleh dilupakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam menghitung komponen biaya produksi semen.

Sebelumnya, tambah dia, pada tanggal 7 April 2009, Direktur Komunikasi KPPU, A Djunaidi, menyatakan, ada dugaan pembentukan harga semen di Indonesia cenderung lebih mahal 30-40 persen dibandingkan negara produsen lain.

"Padahal, KPPU menghimpun informasi berdasarkan data harga semen internasional tahun 2007, harga semen Indonesia senilai 83,8 dolar AS per ton," katanya.

Sementara, lanjut dia, negara lain seperti Malaysia sebesar 62,6 dolar AS per ton, Filipina 84,5 dolar AS per ton, Vietnam 57,75 dolar AS per ton, dan Thailand 67,87 dolar AS per ton.

"Hal itu diduga bisa memenuhi definisi praktek kartel," katanya.

Ia menjelaskan, bahan bakar berupa minyak hanya digunakan untuk mendistribusikan semen saja. Selain itu, juga ada rugi selisih kurs akibat nilai rupiah.

"Batu bara, jelas kami beli dengan dolar AS (Amerika Serikat). Selain itu, komponen gaji karyawan yang juga terus naik dalam periode waktu tertentu. Karena kami ingin karyawan sejahtera, gaji mereka naik dengan mengacu pada indeks inflasi," katanya.

Manajer Komunikasi Korporat PT Holcim Indonesia Tbk, Budi Primawan, mengatakan, penetapan harga tersebut telah dilakukan dengan prosedur yang baku yakni berdasar biaya energi transportasi dan produksi.

"Kami memang punya tanggung jawab, terutama pada pada pemegang saham dan para karyawan untuk mencetak laba yang lebih tinggi setiap tahun. Akan tetapi, penentuan persentase laba juga masih wajar," katanya.

Kenaikan harga terbesar, kata dia, salah satunya karena naiknya harga sumber energi yang menyumbang sekitar 45-50 persen dari komponen biaya produksi.

"Selain itu, juga karena rugi kurs akibat beberapa barang yang harus kami beli dengan dolar AS," katanya.(*)