Education Team Leader WVI Marthen Sattu Sambo memperkirakan 89 persen anak tidak bisa membaca sementara hanya sekitar 11 persen dapat membaca dan memahami isi bacaan. Hal itu didasarkan pada survei awal (baseline) yang dilakukan WVI pada tahun ini dengan melibatkan anak-anak kelas 3 SD di empat sekolah yang didampingi organisasi tersebut.
“Sebenarnya kalau dirunut lagi ke bawah, akar masalahnya itu ada di anak ini sejak kecil itu tidak diberikan kesempatan untuk mengakses tulisan. Simpelnya seperti itu,” kata Marthen di Senayan City, Jakarta, Rabu (7/12)
Dari segi akses wilayah di empat sekolah tersebut, Marthen mengatakan sebetulnya akses di Asmat tidak begitu sulit jika dibandingkan dengan wilayah lain di pedalaman yang lebih sulit dijangkau.
Menurut dia, terkadang faktor lingkungan hingga mindset orang tua masih menjadi penghambat anak untuk dapat memiliki kemampuan membaca secara baik. “Karena jenis pekerjaan orang tuanya kan masih meramu, misalnya dia kelas 1 kemudian ikut orang tuanya ke Bivak. Dia balik (ke sekolah lagi beberapa tahun kemudian), teman-temannya sudah kelas 2 atau kelas 3. Jadi memang tidak sesuai dengan umur sekolah dan umur sebenarnya. Umur sekolah dia harusnya mungkin sudah SMP, tapi mau tidak mau di SD karena belum bisa,” kata Marthen.
Dia menjelaskan terdapat beberapa tahapan dalam literasi yang harus dicapai oleh anak-anak, mulai dari pengenalan alfabet termasuk bagaimana suatu huruf dibunyikan dan seperti apa bentuknya. Tahapan berikutnya yaitu penguasaan terhadap kosa kata, kelancaran membaca, hingga pemahaman terhadap suatu bacaan.
Mengingat masih banyak anak yang belum bisa membaca, Marthen mengatakan WVI mengupayakan intervensi yang paling mendasar bagi anak-anak yaitu mengajarkan mereka cara membaca mulai dari level dasar. Dia menegaskan idealnya kelas 3 SD sudah bisa membaca, bahkan seharusnya bisa membaca sekaligus memahami suatu bacaan.
“Itu (mengajarkan anak membaca di Asmat) harus terjadi 21 sesi. Jadi setiap anak punya 21 jenis permainan yang akan dibawa pulang ke rumahnya dari Rumah Baca, yang itu adalah huruf-huruf dari namanya, (untuk) mengenal 26 huruf itu, (kemudian) mahir bisa mengucapkan dan bisa membunyikan (huruf). Itu paling simpel sekali,” kata dia.
Baca juga: Suku Asmat gunakan speed boat beraktivitas sehari-hari
Baca juga: Suku Asmat kekurangan guru imbangi jumlah siswa meningkat
Sementara itu, intervensi tidak hanya difokuskan pada anak. Menurut Marthen, WVI juga mengupayakan intervensi kepada orang tua dan guru, termasuk juga intervensi lingkungan untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal yang dilatih oleh WVI. “Kalau ke orang tua, yang paling simpel itu, modul orang tua 7 sesi dalam 7 bulan berturut-turut. Bulan pertama mereka datang, kita ajari tentang perkembangan anak,” ujar Marthen.
“Di 7 bulan itu targetnya adalah orang tua bikin Pojok Baca di rumahnya,” imbuh dia lagi.
“Itu (mengajarkan anak membaca di Asmat) harus terjadi 21 sesi. Jadi setiap anak punya 21 jenis permainan yang akan dibawa pulang ke rumahnya dari Rumah Baca, yang itu adalah huruf-huruf dari namanya, (untuk) mengenal 26 huruf itu, (kemudian) mahir bisa mengucapkan dan bisa membunyikan (huruf). Itu paling simpel sekali,” kata dia.
Baca juga: Suku Asmat gunakan speed boat beraktivitas sehari-hari
Baca juga: Suku Asmat kekurangan guru imbangi jumlah siswa meningkat
Sementara itu, intervensi tidak hanya difokuskan pada anak. Menurut Marthen, WVI juga mengupayakan intervensi kepada orang tua dan guru, termasuk juga intervensi lingkungan untuk bekerja sama dengan masyarakat lokal yang dilatih oleh WVI. “Kalau ke orang tua, yang paling simpel itu, modul orang tua 7 sesi dalam 7 bulan berturut-turut. Bulan pertama mereka datang, kita ajari tentang perkembangan anak,” ujar Marthen.
“Di 7 bulan itu targetnya adalah orang tua bikin Pojok Baca di rumahnya,” imbuh dia lagi.