Makna mendalam dari Tetaring adalah supaya kader-kader NW seperti pohon kelapa. Seperti pohon kelapa yang seluruh bagian-bagiannya bermanfaat.
"Warga NW diharapkan menjadi individu yang selalu memberikan manfaat bagi sesama, sesuai dengan motto 'khairunnas anfauhum linnas' (bermanfaat bagi manusia lainnya). Ini mencerminkan semangat solidaritas dan kontribusi positif terhadap warga," katanya.
Proses pembuatan tetaring, mulai dari pemetikan pelepah kelapa hingga menganyam dan mengangkutnya, adalah upaya untuk mempererat tali silaturahim.
Ini adalah wujud nyata dari gotong royong dan rasa kebersamaan yang diterapkan dalam pembuatan tetaring. Warga NW tidak hanya melibatkan anggota komunitas mereka, tetapi juga melibatkan keluarga dan tetangga sekitar sebagai bentuk kerja sama yang kuat.
Membagi Warga
Pembagian tanggung jawab dalam pembuatan tetaring, didasarkan pada musyawarah antara pengurus daerah NW yang ada di Lombok.
Hasil dari musyawarah tersebut menentukan alokasi dan tanggung jawab masing-masing cabang NW di berbagai daerah di Lombok. Hal ini mencerminkan tradisi konsultasi dan kerja sama yang kuat dalam komunitas NW.
Melalui kerjasama yang kompak, pembuatan tetaring di lapangan seluas tiga hektar bisa dituntaskan sebelum pukul 12.00 WITA.
Tetaring bukan hanya sebuah anyaman pelepah kelapa, ini adalah warisan budaya yang menggambarkan gotong royong, solidaritas, dan penghargaan terhadap tradisi.
Melalui tetaring, NW menjaga koneksi dengan akar sejarah mereka, sambil bergerak maju dengan cara yang menggabungkan unsur-unsur masa lalu dan kemajuan zaman.
Tetaring adalah simbol semangat bersatu, mewariskan tradisi, dan meneruskan perjuangan dalam menjaga nilai-nilai yang telah diberikan oleh Bapak Maulana Syaikh.
Tetaring yang indah, rahmat dari pohon kelapa nan teguh, anyaman kelansah, simbol gotong royong yang tulus. Bersama-sama, mereka menyulam kisah, menganyam tak hanya tetaring, tapi juga hati yang penuh kasih, akankah tradisi seperti ini terus berlanjut?