Mengenal "Tetaring" simbol gotong royong dan tradisi NW

id NWDI,Nahdlatul Wathan ,NW,NW Anjani,Tetaring,Filosofi Tetaring

Mengenal "Tetaring" simbol gotong royong dan tradisi NW

Tetaring atau terop pelepah pohon kelapa.

Ini adalah cara untuk mengaktualisasikan kembali kenangan dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Bapak Maulana Syaikh
Mataram (ANTARA) - Jam tangan menunjukkan pukul 06.30 Wita, satu persatu warga Nahdlatul Wathan (NW) di Lombok Timur mulai berkumpul dengan membawa peralatan serta bekal makanan untuk mengawali pekerjaan di pagi hari.

Pekerjaan membuat "tetaring" atau terop anyaman pelepah kelapa, akan dimulai. Parang berkilau mulai bekerja di tangan pemiliknya yang bersemangat dengan memotong bambu.

Tepatnya di lapangan Ummuna Hj Sitti Raihanun ZAM Yayasan Ponpes Syaikh Zainuddin NW Anjani, Kecamatan Suralaga, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Pekerjaan tersebut rutin dilakukan menjelang pelaksanaan Hari Ulang Tahun (Hultah) Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). 

Nahdlatul Wathan adalah sebuah organisasi Islam yang berbasis di Indonesia dan idirikan oleh Maulana Syaikh TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada 1953. Organisasi tersebut bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah. 

Makna filosofi dari tetaring tersebut untuk menjalin silaturahmi nasional atau simbol kebersamaan dan gotong royong antara warga NW dari seluruh nusantara. 

Lebih jelasnya, tetaring adalah sebuah terop tradisional yang atapnya berasal dari anyaman pelepah kelapa yang biasa disebut "Kelansah", dengan tiang dan rangka dari bambu. Di era perkembangan zaman semakin maju, penggunaan Tetaring ini tetap digunakan.

NW selalu mengikuti zaman dan menjaga tradisi dan perpaduan antara tetaring dan terop modern yang memadukan unsur-unsur budaya masa lalu dengan perkembangan zaman merupakan buktinya. Tetaring menjadi simbol perjuangan dan gotong royong dalam merawat dan melestarikan tradisi lama.

Ketua panitia pembuatan tetaring HUT NWDI, TGH Muzayyin Shobri menjelaskan tujuan utama penggunaan tetaring adalah untuk mempertahankan tradisi warisan yang telah diwariskan sejak zaman Al Magfurullah Bapak Maulana Syaikh. 

"Gotong royong dalam pembuatan tetaring menjadi pengingat sejarah perjuangan dan keterlibatan masyarakat dalam membangun komunitas NW. Ini adalah cara untuk mengaktualisasikan kembali kenangan dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Bapak Maulana Syaikh," katanya.

Kader NW seperti pohon kelapa

Makna mendalam dari Tetaring adalah supaya kader-kader NW seperti pohon kelapa. Seperti pohon kelapa yang seluruh bagian-bagiannya bermanfaat.

"Warga NW diharapkan menjadi individu yang selalu memberikan manfaat bagi sesama, sesuai dengan motto 'khairunnas anfauhum linnas' (bermanfaat bagi manusia lainnya). Ini mencerminkan semangat solidaritas dan kontribusi positif terhadap warga," katanya.

Proses pembuatan tetaring, mulai dari pemetikan pelepah kelapa hingga menganyam dan mengangkutnya, adalah upaya untuk mempererat tali silaturahim.

Ini adalah wujud nyata dari gotong royong dan rasa kebersamaan yang diterapkan dalam pembuatan tetaring. Warga NW tidak hanya melibatkan anggota komunitas mereka, tetapi juga melibatkan keluarga dan tetangga sekitar sebagai bentuk kerja sama yang kuat.

Membagi Warga

Pembagian tanggung jawab dalam pembuatan tetaring, didasarkan pada musyawarah antara pengurus daerah NW yang ada di Lombok.

Hasil dari musyawarah tersebut menentukan alokasi dan tanggung jawab masing-masing cabang NW di berbagai daerah di Lombok. Hal ini mencerminkan tradisi konsultasi dan kerja sama yang kuat dalam komunitas NW.

Melalui kerjasama yang kompak, pembuatan tetaring di lapangan seluas tiga hektar bisa dituntaskan sebelum pukul 12.00 WITA.

Tetaring bukan hanya sebuah anyaman pelepah kelapa, ini adalah warisan budaya yang menggambarkan gotong royong, solidaritas, dan penghargaan terhadap tradisi.

Melalui tetaring, NW menjaga koneksi dengan akar sejarah mereka, sambil bergerak maju dengan cara yang menggabungkan unsur-unsur masa lalu dan kemajuan zaman.

Tetaring adalah simbol semangat bersatu, mewariskan tradisi, dan meneruskan perjuangan dalam menjaga nilai-nilai yang telah diberikan oleh Bapak Maulana Syaikh.

Tetaring yang indah, rahmat dari pohon kelapa nan teguh, anyaman kelansah, simbol gotong royong yang tulus. Bersama-sama, mereka menyulam kisah, menganyam tak hanya tetaring, tapi juga hati yang penuh kasih, akankah tradisi seperti ini terus berlanjut?