Jakarta (ANTARA) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan, praktik Resale Price Maintenance (RPM) bukan menjadi praktik yang secara otomatis bertentangan dengan hukum, namun akan menjadi ilegal apabila terbukti membuat persaingan usaha yang tidak sehat.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat malam, Kepala Biro Humas dan Kerjasama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Deswin Nur mengatakan, praktik tersebut diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999.
Dia menyebutkan, pasal itu hanya mengatur larangan bagi pelaku usaha untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Menurutnya, dalam praktiknya, RPM diterapkan dengan melihat alasan di baliknya atau rule of reason. Deswin menegaskan bahwa dalam penegakan hukum, RPM harus dianalisis berdasarkan efeknya terhadap persaingan.
"Pengaturan RPM merupakan bentuk dari rule of reason, sehingga dibutuhkan bukti konkret bahwa RPM tersebut mengakibatkan dampak negatif terhadap persaingan usaha," katanya.
Meski demikian, pelaksanaan dan penegakan RPM di Indonesia masih terbatas meskipun ada konstitusi yang jelas terkait hal tersebut. Dia mencontohkan, kasus distribusi Semen Gresik pada 2005 lalu merupakan salah satu contoh kasus yang ditangani oleh KPPU terkait pelanggaran RPM.
"Jenis pelanggaran ini cukup jarang ditemukan atau ditangani oleh KPPU," kata Deswin lagi.
Deswin menambahkan, dalam hal efektivitas, penerapan larangan RPM diharapkan dapat mengurangi praktik persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan adanya larangan tersebut, ujarnya, diharapkan konsumen dapat menikmati barang dan jasa dengan harga yang lebih kompetitif.
Sebelumnya, Pakar hukum persaingan usaha, Prof. Ningrum Natasya Sirait mengatakan bahwa penetapan RPM terhadap sebuah produk merupakan praktek yang biasa saja. Menurutnya, pasti ada alasan dari produsen membuat penetapan harga seperti itu.
"Semuanya produk kalau harganya ditetapkan kembali atau RPM itu sebetulnya praktek yang biasa saja. Pasti kan ada alasannya produsen melakukan hal itu. Ada the rule of reason, tidak absolut," kata Ningrum.
Baca juga: BPK menemukan masalah LK Kemenko Perekonomian dan KPPU
Baca juga: Pemerintahan baru bangun jargas kota hemat LPG
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) ini melanjutkan, dalam pasal 8 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli disebutkan tidak boleh menetapkan harga jual kembali. Dia melanjutkan, namun secara ekonomi bisnis, penetapan RTM itu bukan sepenuhnya tindakan anti persaingan usaha.
"Jadi, kalau undang-undangnya jelas melarang. Tapi, kalau secara ekonomi bisa membuktikan sebaliknya, apalagi pendekatan kita ada di rule of reason dan itu bisa dibuktikan, RPM itu sah-sah saja untuk dilakukan," katanya.