Kaleidoskop 2024- Membangun pariwisata di NTB berbasis budaya

id kaleidoskop 2024,catatan akhir tahun,nusa tenggara barat,museum ntb,festival bau nyale,pariwisata berbasis budaya,wisata,wisata NTB

Kaleidoskop 2024- Membangun pariwisata di NTB berbasis budaya

Ribuan warga dan wisatawan mengumpulkan Nyale atau cacing laut warna-warni pada Festival Pesona Bau Nyale 2024 di Pantai Seger Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika yang dikelola oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Kuta, Praya, Lombok Tengah, NTB, Jumat (1/3/2024). Tradisi Bau Nyale di Pantai Kuta Mandalika merupakan tradisi turun temurun masyarakat Sasak di LombokÊyang diharapkan damat meningkatkan kunjungan wisatawan dan menjadi daya tarik dari pengembangan KEK Mandalika.ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/rwa.

Mataram (ANTARA) - Sebanyak tiga suku lokal yang mendiami Nusa Tenggara Barat (NTB), yakni Sasak, Samawa, dan Mbojo menjadi modal besar bagi arah pembangunan pariwisata berbasis budaya di provinsi kepulauan seluas 20.153,15 kilometer persegi itu.

Sebagai daerah yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Sunda Kecil, Nusa Tenggara Barat bersaing ketat dengan Bali sebagai pulau para dewa dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang menjadi tempat satu-satunya di dunia untuk menyaksikan reptil purba komodo. Kedua provinsi yang saling bertetangga tersebut tentu terdengar lebih akrab di telinga para turis, ketimbang Nusa Tenggara Barat.

Pembangunan wisata berbasis budaya menempatkan nilai-nilai, tradisi, dan identitas budaya sebagai pilar utama dalam merancang dan melaksanakan program pembangunan agar lebih berkelanjutan, inklusif, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal.

Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Lalu Gita Ariadi, mengatakan pemerintah daerah kini menyadari Nusa Tenggara Barat tidak bisa jika hanya mengandalkan keindahan sumber daya alam semata untuk menarik minat kunjungan wisatawan.

Ragam destinasi wisata yang ada perlu bersanding dengan keunikan budaya suatu daerah mulai dari tradisi, seni, arsitektur, adat istiadat, maupun cara hidup masyarakat setempat. Wisata berbasis budaya berpengaruh signifikan terhadap lama menginap wisatawan.

"Keunikan budaya memberikan pengalaman yang mendalam kepada wisatawan. Mereka tidak hanya menikmati keindahan pantai dan gunung, tapi juga berinteraksi dengan budaya lokal," kata Gita, birokrat yang pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB.

Baca juga: Gunung sampah NTB berubah menjadi taman wisata edukasi

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang perkembangan pariwisata Provinsi NTB pada Januari sampai Oktober 2024, wisatawan mancanegara yang masuk melalui pintu Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid di Kabupaten Lombok Tengah tercatat sebanyak 70.489 orang.

Bila dibandingkan data tahun 2022 dan 2023, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tahun ini walau baru berjalan 10 bulan masih jauh lebih tinggi ketimbang dua tahun lalu. Wisatawan mancanegara yang datang ke Nusa Tenggara Barat tercatat sebanyak 15.388 orang pada tahun 2022 dan mencapai 57.586 orang pada tahun 2023.

Wisata berbasis budaya tidak hanya memberikan pengalaman unik bagi wisatawan, tetapi juga membantu masyarakat lokal menjaga dan melestarikan tradisi mereka.

Sepanjang 2024, Nusa Tenggara Barat memiliki 36 kegiatan pariwisata yang mengundang banyak wisatawan, di antaranya Festival Bau Nyale di Lombok Tengah, Perang Topat di Lombok Barat, Pacoa Jara di Dompu, hingga Maulid Adat Bayan di Lombok Utara.

Bahkan ajang kejuaraan dunia balap MotoGP di Sirkuit Mandalika yang berada di Pulau Lombok selalu bersanding dengan ragam atraksi budaya guna memikat mata para pembalap dan juga para penonton yang menyaksikan balapan tersebut.

Baca juga: Pelayanan di destinasi wisata NTB dioptimalkan saat libur Nataru 2025

Berangkat dari museum

Arsitektur atap mengadopsi rumah adat suku Sasak menjadi ciri khas utama Museum Negeri Nusa Tenggara Barat yang menyuguhkan pengalaman visual memukau tentang sejarah, tradisi, dan budaya lokal.

Terletak di jantung Kota Mataram, museum yang memiliki lebih dari 7.000 koleksi artefak itu menjadi jendela budaya bagi para pengunjung yang ingin menyelami sejarah peradaban tiga suku besar yang membentuk peradaban masyarakat di Nusa Tenggara Barat.

Kepala Museum Negeri Nusa Tenggara Barat, Ahmad Nuralam mengatakan museum tak hanya sebagai tempat menyimpan artefak, namun juga sebagai pusat perjumpaan budaya yang menjadi sumber pengetahuan penting bagi generasi kini dan generasi mendatang.

Museum menyimpan sejarah dan warisan budaya lokal yang dapat digunakan untuk memperkuat rasa bangga dan identitas masyarakat. Hal ini penting untuk membangun solidaritas dan kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan pembangunan.

Pengelolaan museum yang dilakukan secara baik dapat menjadi destinasi wisata budaya menarik bagi pengunjung lokal maupun mancanegara, sehingga berkontribusi terhadap perekonomian daerah melalui sektor pariwisata.

"Sejak berdiri tahun 1982, Museum Negeri Nusa Tenggara Barat telah dikunjungi oleh 1,89 juta orang," ucap Nuralam.

Memahami sejarah dan kearifan lokal yang tersimpan melalui artefak, maka masyarakat bisa merumuskan solusi berbasis nilai-nilai tradisional dan inovasi modern.

Baca juga: Membangkitkan pariwisata di NTB lewat peresean

Dalam pameran temporer peralatan rumah tangga berbahan organik yang disuguhkan Museum Negeri Nusa Tenggara Barat pada 13 Desember 2024 sampai 13 Februari 2025, masyarakat diajak merefleksikan limbah plastik yang mencemari planet Bumi. Sebanyak 110 koleksi artefak peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu, kayu, daun, maupun kulit hewan mengajarkan kepada kita semua bahwa alat-alat dapur kuno baik bagi lingkungan dan kesehatan.

Sebagai ruang publik, museum dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif seperti seni, kerajinan tangan, kuliner, dan produk budaya lainnya yang memiliki potensi pasar. Gagasan pembangunan berangkat dari museum mencerminkan pentingnya keberadaan museum sebagai pusat pengetahuan, budaya, dan identitas lokal yang dapat menjadi fondasi pembangunan daerah.

Masyarakat terlibat langsung

Ribuan orang dari berbagai daerah memadati Pantai Seger di Kecamatan Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, pada 1 Maret 2024. Berbekal jala dan senter yang terikat pada kepala, mereka berduyun menangkap cacing laut warna-warni.

Festival Bau Nyale yang melegenda merupakan ritual sakral yang digelar penduduk suku Sasak pada bulan Februari dan Maret setiap tahun. Aktivitas menangkap cacing laut menjadi daya tarik tersendiri bagi turis yang berwisata ke Pulau Lombok.

Hasil uji kuantitatif kandungan protein cacing nyale yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Mataram pada tahun 2019 mengungkapkan cacing laut yang masuk ke dalam kelas polychaeta dan spesies eunice siciliensis itu memiliki rata-rata kandungan protein sebanyak 37,38 persen.

Baca juga: Badan Pariwisata Malaysia promosi wisata di NTB

Setelah aktivitas memanen cacing nyale berlangsung semalaman, maka proses selanjutnya adalah mengolah hewan laut itu menjadi kuliner lokal. Kegiatan memasak cacing laut menjadi ragam kuliner lokal, seperti hidangan pepes, kuah santan, ataupun sekedar diasap menjadi tontonan yang menawan.

Festival Bau Nyale melibatkan masyarakat ke dalam bagian penting dari pengalaman berwisata, baik sebagai pelaku utama, pemandu, maupun penyedia layanan. Kegiatan pariwisata yang mengikutsertakan penduduk lokal tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga membangun kebanggaan dan kesadaran untuk melestarikan warisan budaya.


Baca juga: Menguatkan paket wisata Mandalika Lombok menjadi destinasi global
Baca juga: Eksotisme Pantai Loang Baloq Mataram dongkrak ekonomi daerah