Daftar putusan MK yang sulit dilupakan di 2024

id Mahkamah Konstitusi,Kaleidoskop MK Tahun 2024,MK,Putusan MK 2024,Putusan MK kontroversial,Mahkamah Konstitusi 2024,MK 2024

Daftar putusan MK yang sulit dilupakan di 2024

Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) selaku Ketua Majelis Hakim didampingi hakim anggota Saldi Isra (kedua kiri), Enny Nurbaningsih (kiri), M. Guntur Hamzah (kedua kanan), dan Daniel Yusmic P. Foekh (kanan) mendengarkan keterangan ahli saat memimpin sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (11/12/2024). Sidang yang diajukan oleh 11 pemohon, salah satunya Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Pembaruan Jumhur Hidayat tersebut beragenda mendengarkan keterangan ahli. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.

Jakarta (ANTARA) - Tahun 2024 menjadi salah satu tahun tersibuk bagi Mahkamah Konstitusi. Selain karena memeriksa dan memutus berbagai perkara pengujian undang-undang, Mahkamah juga bertanggung jawab menyelesaikan sengketa pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif.

Dilihat dari laman resmi MK, terdapat 240 perkara pengujian undang-undang sepanjang tahun 2024. Jumlah itu terdiri dari 189 perkara diregistrasi pada tahun 2024 dan 51 perkara lanjutan dari tahun 2023. Dari total itu, Mahkamah telah memutus 158 perkara, sementara 82 perkara lainnya masih dalam proses.

Bersamaan dengan itu, MK menangani 308 perkara perselisihan hasil pemilihan umum dengan rincian 294 perkara DPR/DPRD, 12 perkara DPD, dan dua perkara pilpres. Hasilnya, hanya 45 perkara yang dikabulkan, 64 ditolak, 149 tidak dapat diterima, 15 ditarik kembali, 20 gugur, dan 15 tidak berwenang untuk diadili oleh MK.

Sebagai penafsir konstitusi, putusan MK memiliki dampak besar, terlebih karena sifatnya final dan mengikat. Tidak sedikit pula putusan Mahkamah pada tahun 2024 yang menyita perhatian publik karena substansinya menjadi sejarah baru bagi berbagai lini kehidupan, seperti sederet putusan berikut ini.

Kemenangan Prabowo-Gibran konstitusional

Kemenangan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam kontestasi Pilpres 2024 dinyatakan konstitusional, usai Mahkamah menolak gugatan yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Putusan itu dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada Senin (22/4/2024).

Gugatan Anies-Muhaimin terdaftar dengan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024, sementara gugatan Ganjar-Mahfud Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024. Berbagai dalil permohonan disampaikan di hadapan hakim konstitusi pada sidang perdana, Rabu (27/3/2024). Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud sama-sama mendalilkan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.

Proses sidang berjalan alot. MK bahkan menghadirkan empat menteri Kabinet Indonesia Maju sebagai saksi, Jumat (5/4/2024). Keempat menteri itu adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Dalam putusannya, MK menyimpulkan, permohonan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Akan tetapi, untuk pertama kalinya, sengketa pilpres diputus dengan suara tidak bulat. Tiga hakim konstitusi, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion) terhadap putusan MK.

Ambang batas parlemen 4 persen konstitusional bersyarat

Melalui Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023, Kamis (29/2/2024), MK mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) perihal ambang batas parlemen empat persen. MK menyatakan ambang batas parlemen empat persen tetap konstitusional untuk Pemilu DPR 2024, tetapi konstitusional bersyarat untuk Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.

Dalam hal ini, MK memerintahkan pembentuk undang-undang untuk mengubah norma serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang diatur dalam Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan tidak ada dasar rasionalitas dalam penetapan ambang batas parlemen empat persen selama ini.

MK memerintahkan ambang batas parlemen diatur ulang dengan berpedoman kepada persyaratan yang termaktub dalam pertimbangan putusan, antara lain, harus didesain untuk digunakan secara berkelanjutan, perubahan tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu, mewujudkan penyederhanaan partai politik, rampung sebelum tahapan Pemilu 2029, dan melibatkan berbagai kalangan dengan prinsip partisipasi publik bermakna.

Perombakan ambang batas pencalonan kepala daerah

MK merombak aturan ambang batas pencalonan kepala daerah lewat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Putusan atas perkara yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora itu dibacakan pada Selasa (20/8/2024) atau mendekati tahapan pendaftaran calon kepala daerah Pilkada 2024.

Melalui putusan ini, MK mengubah norma Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menjadi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika memperoleh suara sah berkisar 6,5–10 persen dari jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.

Dengan adanya putusan ini, ambang batas pencalonan kepala daerah menjadi turun. Sebelumnya, untuk mengusung calon kepala daerah, partai politik atau gabungan partai harus mendapatkan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi suara sah Pemilu DPRD.

Akhir perdebatan syarat usia calon kepala daerah

Pada hari yang sama dengan putusan ambang batas pencalonan kepala daerah, MK juga membacakan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi sejak penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh KPU.

Penegasan MK itu mengakhiri perdebatan mengenai teknis penghitungan syarat usia calon kepala daerah. Pasalnya, sebelum putusan tersebut dibacakan, syarat usia masih simpang siur. Terlebih, putusan uji materi di Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024 menyatakan, syarat usia calon kepala daerah terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Lebih jauh dalam pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan, peraturan batas usia calon kepala daerah selalu ditempatkan dalam bab yang mengatur mengenai persyaratan calon. Semua hal yang berkaitan dengan persyaratan seyogianya harus dipenuhi sebelum pasangan calon ditetapkan. Ketentuan itu, menurut Mahkamah, juga sama halnya dengan syarat usia calon anggota legislatif maupun calon presiden dan wakil presiden.

Desain surat suara pilkada calon tunggal

MK memutuskan mengubah ketentuan desain surat suara pilkada calon tunggal menjadi model plebisit, yakni model yang meminta para pemilih untuk menentukan setuju atau tidak setuju terhadap calon tunggal tersebut. Nantinya, surat suara pilkada calon tunggal memuat foto pasangan calon tunggal serta dua kolom kosong di bagian bawah yang memuat pilihan “setuju” atau “tidak setuju”.

Hal itu merupakan pemaknaan baru MK terhadap Pasal 54C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ketentuan baru desain surat suara pilkada calon tunggal itu berlaku mulai Pilkada 2029, mengingat Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024 dibacakan pada Kamis (14/11/2024) saat tahapan pencetakan surat suara Pilkada 2024 telah dilaksanakan.

Ketentuan pilkada ulang jika kotak kosong menang

Masih dalam Putusan Nomor 126/PUU-XXII/2024, MK turut memperjelas ketentuan pilkada ulang apabila kotak kosong menang pada pilkada calon tunggal. MK menyatakan, dalam hal kotak kosong memperoleh suara lebih banyak daripada calon tunggal, maka pemilihan berikutnya dilaksanakan dalam waktu paling lama satu tahun.

Dalam amar putusannya, MK juga mengatur bahwa kepala daerah yang terpilih berdasarkan hasil pemilihan berikutnya tersebut memegang masa jabatan sampai dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang baru, sepanjang tidak melebihi masa waktu lima tahun sejak pelantikan. Putusan itu untuk memperjelas makna frasa “pemilihan berikutnya” dalam Pasal 54D ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Penegasan demi penegasan di UU Cipta Kerja

Melalui Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, Kamis (31/10/2024), MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi yang dimohonkan Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja. Setidaknya ada 21 norma yang dikabulkan sebagian. Pada pokoknya, MK memberi penegasan demi penegasan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Beberapa hal yang ditegaskan oleh MK, di antaranya terkait jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) paling lama lima tahun, menteri yang bertanggung jawab dalam urusan ketenagakerjaan harus menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsorcing), libur satu atau dua hari dalam sepekan, struktur dan skala upah harus proporsional, upah minimum sektoral kembali diberlakukan, hingga pemutusan hubungan kerja diperketat melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.

Dalam putusan itu, MK juga memerintahkan DPR dan Presiden, selaku pembentuk undang-undang, untuk menggodok undang-undang ketenagakerjaan yang baru paling lama dalam waktu dua tahun. MK memerintahkan, klaster ketenagakerjaan dipisahkan dari Undang-Undang Cipta Kerja. MK memerintahkan itu agar tidak ada tumpang tindih aturan.

Tafsir baru delik pencemaran nama baik

Perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang bisa dipidana apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan cara lisan. Hal itu merupakan penafsiran baru Mahkamah terkait delik pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal tersebut sebelumnya tidak memuat frasa “dengan cara lisan”. MK mengadopsi frasa itu dari Pasal 433 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP atau UU KUHP baru yang akan berlaku mulai 2026. Menurut Mahkamah, pengakomodasian ketentuan “dengan cara lisan” itu demi menciptakan kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma mengenai pencemaran nama baik.

Tafsir baru itu termaktub dalam Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023. Perkara dimohonkan oleh aktivis Haris Azhar, Fatiah Maulidiyanty, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Adapun Haris dan Fatiah merupakan aktivis yang divonis bebas dalam kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan.

KPK berwenang usut korupsi militer

KPK berwenang mengusut kasus korupsi di ranah militer hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau inkrah, sepanjang kasus tersebut ditangani sejak awal atau dimulai oleh KPK. Ketentuan itu merupakan pemaknaan baru MK terhadap Pasal 42 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Mahkamah menyatakan, sepanjang tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh unsur sipil dan militer yang sejak awal dilakukan atau dimulai oleh KPK, maka perkara tersebut akan ditangani oleh KPK sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Demikian Putusan Nomor 87/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Jumat (29/11/2024).

Perpanjangan batas waktu pengajuan kompensasi korban terorisme

Peria Ronald Pidu, korban Tindak Pidana Terorisme Bom di Pasar Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah serta Mulyani Taufik Hidayat dan Febri Bagus Kuncoro, korban bom Beji, Depok, Jawa Barat, mempersoalkan konstitusionalitas batas waktu pengajuan kompensasi korban terorisme dalam Pasal 43L ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pada Kamis (29/8/2024), MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Mahkamah menyatakan frasa “tiga tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku” dalam Pasal 43L ayat (4) UU Terorisme inkonstitusional secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “sepuluh tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku”.

Melalui Putusan Nomor 103/PUU-XXI/2023 itu, MK memperpanjang batas waktu bagi korban terorisme masa lalu untuk mengajukan permohonan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis kepada lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban, yakni dari tiga tahun menjadi sepuluh tahun.

Sederet putusan MK di atas perlu dikawal agar ketentuan yang didelegasikan benar-benar diterapkan. Menyongsong tahun 2025, MK akan menangani ratusan perkara sengketa Pilkada 2024. Selain itu, perkara pengujian undang-undang yang belum rampung juga akan diselesaikan pada tahun ini.