Jamil Azzaini
Setiap kali membaca kisah para tenaga kerja wanita (TKW) kita di luar negeri beritanya selalu saja menyedihkan. Tak ada yang membanggakan. Tengok Ceriyati (34) tenaga kerja kita yang melarikan diri bergelantungan dari lantai 15 hingga lantai 12 di apartemen majikannya di Malaysia.
Ceriyati dan sejawatnya yang lain di mancanegara selalu saja menjadi bulan-bulanan. Disiksa, disia-sia, dan ditelantarkan. Saya beruntung kerap menerima curahan hati mereka yang bekerja di Hongkong, Makao, juga Malaysia. Saya bisa merasakan kegetiran hidup mereka di rantau.
Sesungguhnya, mereka tak layak mendapat perlakuan seperti itu. Peran mereka di rumah tangga majikannya sangatlah bermakna. Nyatanya mereka menjadi ibu yang de facto (ada di hati dan pikiran) anak-anak majikannya. Sementara sang majikan justru hanya menjadi orangtua de jure (orang tua biologis semata).
Seperti halnya kisah Asih yang bekerja menjadi pembantu di Malaysia. Asih berasal dari Jawa Tengah. Majikannya (suami-istri) bekerja. Sepasang suami-istri yang super sibuk itu memiliki satu orang anak yang sangat cantik, Nurbaiti namanya.
Asih lah yang mengajarkan Nurbaiti membaca Al Qur’an, mengajarkan sholat, menemani belajar, memberikan apresiasi bila gadis mungil itu meraih prestasi. Sementara kedua orangtuanya sibuk mengejar harta. Secara batin, Nurbaiti lebih dekat dengan Asih ketimbang dengan kedua orangtuanya.
Suatu ketika kedua orangtua Nurbaiti mampu membeli mobil kelas menengah. Nurbaiti pun ikut senang. Gadis kecil itu menuangkannya dalam bentuk gambar di atas secarik kertas. Mobil itu diberi warna-warna indah. Ia ingin memberikan gambar mobil itu kepada mamanya. Ia ingin mamanya bahagia. Ia ingin mamanya tahu bahwa ia mampu menggambar mobil baru milik mereka.
Suatu sore Nurbaiti menanti mamanya pulang kerja. Dia sudah bersiap di depan pintu ruang tamu dengan mendekap gambar mobil itu. Ia ingin membuat kejutan buat mamanya. Begitu mamanya membuka pintu Nurbaiti langsunng menyongsong, ”Mama, aku ingin menunjukkan sesuatu pada Mama”.
Tanpa peduli dengan perasaan Nurbaiti sang mama berlalu sambil menjawab ”jangan sekarang ya, Mama lagi capek”. Hati Nurbaiti terluka. Ia sedih. Gadis kecil itu berlari menuju kamar Asih, ia menangis dalam pelukan sang pembantu sampai ia tertidur.
Keesokan harinya, Nurbaiti bangun lebih pagi. Dengan hati yang masih terluka ia pergi ke taman, mencabut bunga-bunga berduri. Dengan dua genggam bunga berduri di tangan, ia goreskan bunga itu ke mobil baru orangtuanya. Nurbaiti tak peduli tangannya berdarah, dia terus menggoreskan bunga itu, hingga sebagian besar badan mobil tergores.
Saat orangtuanya hendak berangkat kerja, terkejutlah mereka. Ibunda Nurbaiti tak bisa menahan emosi. Ia cari Nurbaiti dan ia pukul tangan Nurbaiti berulang kali. Darah segar mengalir kembali di tangan Nurbaiti. Dengan hati kesal, mereka berangkat kerja meninggalkan Nurbaiti yang menangis dalam pelukan Asih.
Hari berganti hari, ternyata luka di tangan Nurbaiti tak kunjung sembuh bahkan semakin parah. Nurbaiti pun akhirnya dirawat di rumah sakit. Karena luka tangan itu semakin membusuk dan meluas, dokter memutuskan, tangan kanan Nurbaiti harus diamputasi. Kedua orangtuanya, sedih, menyesal dan tak bisa berbuat apa pun. Mereka pasrah.
Setelah 22 hari di rawat di rumah sakit, perban di tangan Nurbaiti dibuka. Terkejutlah anak semata wayang itu ketika ia tahu bahwa tangan kanannya telah tiada. Dia menangis tiada henti. Dia selalu bertanya, kenapa tangannya hilang? Karena tangisnya tak kunjung reda, Asih menelpon kedua orangtuanya agar segera datang ke rumah sakit.
Melihat mamanya datang, Nurbaiti justru ketakutan. Nurbaiti berlindung di pelukan Asih. Nurbaiti terus menangis sambil berteriak ”Mama, kembalikan tanganku, aku janji tidak akan memperlihatkan gambar mobilku kepada Mama. Biar Kak Asih saja yang melihat. Tapi Mama, kembalikan tanganku... kembalikan tanganku mama...”
Sang Mama tak bisa berkata selain menyesali keadaan. Dengan terbata sang mama berkata “Maafkan mama sayang, maafkan mama”. Sang Mama menangis sejadi-jadinya. Ia iri dengan Asih, seorang pembantu, namun telah menjadi Mama de facto bagi Nurbaiti. (*)