London (ANTARA) - Duta Besar/Wakil Tetap Indonesia pada Organisasi untuk Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Mohamad Oemar, atas nama Pemerintah Indonesia menandatangani naskah Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (Perjanjian PSM).
Acara penandatangan itu dilakukan Minggu, di sela-sela pertemuan Konferensi FAO ke-36, ujar Kepala Fungsi Multilateral dan Hukum KBRI Roma, Purnomo A. Chandra kepada koresponden Antara London, Senin.
Dikatakannya sebagai negara pihak yang pertama menandatangani dokumen perjanjian tersebut, Indonesia bersama sembilan anggota FAO menjadi pionir dalam menembus kekosongan hukum internasional terkait pemberantasan penangkapan ikan secara ilegal yang selama ini sangat merugikan bangsa Indonesia dan menjadi keprihatinan banyak negara.
Kesembilan negara yang ikut menandatangani perjanjian itu selain Indonesia adalah Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia Norwegia, Samoa, Amerika Serikat dan Uruguay adalah guna melengkapi keanggotaan Indonesia sebagai pihak pada UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement 1995.
Ditandatanganinya perjanjian tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan amanat konstitusi untuk melindungi kekayaan sumber daya alam Indonesia, khususnya kekayaan laut, serta melengkapi penguatan rejim hukum nasional, khususnya hukum laut dan maritim.
Selain itu, hal ini merupakan wujud kepedulian Indonesia atas upaya-upaya global dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal melalui penguatan kerjasama antarnegara pelabuhan.
Perjanjian PSM disepakati negara anggota PBB pada pertemuan Konferensi ke-36 FAO dengan pemungutan suara, setelah melalui tiga kali pertemuan teknis yang memakan waktu perundingan hampir dua tahun.
Sebanyak 106 dari 118 negara yang hadir mendukung penerimaan resolusi terkait perjanjian ini, dua negara menolak dan 10 abstain.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut mencapai sekitar 3,1 juta kilometer persegi dan panjang pantai lebih dari 95 ribu kilometer, setiap tahunnya Indonesia kehilangan lebih dari 30 triliun rupiah akibat pencurian ikan yang dilakukan di berbagai wilayah perairan Indonesia.
Keikutsertaan Indonesia sebagai pihak pada perjanjian ini diharapkan tidak hanya memperkuat hukum nasional dan mencegah hilangnya kekayaan dan potensi ekonomi bangsa, namun yang terpenting juga adalah untuk menjaga kedaulatan NKRI serta kelestarian lingkungan, sumber daya perikanan dan kelautan lainnya bagi generasi penerus di kemudian hari.(*)