Anak penjual kue asal Papua itu tembus Harvard

id Anak penjual kue asal Papua itu tembus Harvard

Anak penjual kue asal Papua itu tembus Harvard

Pendiri jaringan perpustakaan Hano Wene Papua, Neas Wanimbo dan pendiri Yayasan Kitong Bisa, Billy Mambrasar, di Kantor ANTARA, Jakarta, Jumat (30/8). (ANTARA/Indriani)

Jakarta (ANTARA) - Gracia Billy Yosaphat Y. Mambrasar atau Billy Mambrasar (30) tak pernah mengira bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi ternama dunia.

Saat ini, ia sedang dalam proses penyelesaian tesis studi gelar Magister (MSc) dalam bidang bisnis di Universitas Oxford, Inggris. Gelar tersebut merupakan gelar keduanya, setelah menyelesaikan studi di Australian National University (ANU) dengan beasiswa dari Pemerintah Australia dan menjadi mahasiswa terbaik pada 2015

Dalam waktu dekat, ia juga akan melanjutkan pendidikan doktoralnya dengan Beasiswa Afirmasi dari LPDP di Universitas Harvard, Amerika Serikat, dalam bidang pembangunan manusia.

Hal itu tak pernah terlintas di benaknya, sebelumnya. Ia berasal dari keluarga kurang mampu di Serui, Kepulauan Yapen, Papua. Sehari-hari, ibunya berjualan kue dan makanan di pasar untuk menghidupi keluarganya. Ayahnya seorang guru. Tak jarang, ia membantu ibunya berjualan kue.

"Subuh ibu bikin kue, paginya ibu pergi ke pasar jualan, kami ke sekolah sambil bawa kue untuk dijual," ujar Billy saat berkunjung ke Kantor Berita ANTARA Jakarta, Jumat.

Sebagai penjual kue, ia memiliki semangat pantang menyerah dalam menjual dagangannya. Pasalnya jika kue tersebut tidak habis maka tidak bisa dijual kembali keesokan harinya. Sisa kue jualan itu, dimakannya bersama saudaranya ketimbang basi.

Rumahnya juga tidak memiliki listrik, sehingga Billy harus belajar menggunakan pelita dan lampu minyak.

Meski terbatas, mimpi Billy untuk meraih kesuksesan ternyata tak terbatas. Oleh karena dia dari keluarga tidak mampu maka dia berusaha untuk berprestasi sehingga bisa mendapatkan beasiswa.

Saat dibangku SMA, ia mendapatkan beasiswa dari Pemprov Papua. Saat itu, hanya anak-anak terbaik dari sembilan kabupaten di Papua yang bisa mendapatkan beasiswa SMA favorit di Jayapura. Billy termasuk salah satunya.

"Waktu SMA tinggal di sekolah berasrama di Jayapura, jadi tidak ada keluar biaya," tambah dia.

Saat duduk dibangku SMA itu, ia bermimpi bisa menjadi insinyur dan kuliah di kampus teknik.

Ia mengaku terinspirasi Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, yang merupakan mahasiswa teknik sipil dan bersekolah di kampus kulit putih milik Belanda, yakni Institut Teknologi Bandung.

Orang tuanya bilang jika hal itu tidak mungkin tercapai karena tak ada biaya, apalagi sekolahnya di Pulau Jawa. Bukan di Papua. Biaya perjalanan juga tidak ada.

"Karena saya penjual kue, saya terbiasa tidak mudah menyerah dan membulatkan tekad kuliah ke Jawa. Saya ingin kuliah di ITB, kampus teknik terbaik. Melihat tekad saya, orang tua kemudian berkeliling minta bantuan, mengetuk pintu dinas satu ke dinas lainnya untuk minta bantuan dana," kenangnya.

Singkat cerita, biaya untuk tes masuk terkumpul dan ia berangkat ke Bandung, Jawa Barat.

Akhirnya, ia diterima di kampus itu di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB. Biaya kuliah didapat dari beasiswa afirmasi dan otsus dari pemerintah.

Saat kuliah, ia kembali berjualan untuk mendapatkan tambahan penghasilan guna bertahan hidup. Padahal, pekerjaan itu sudah ditinggalkannya saat SMA. Ia juga mengamen, menyanyi di kafe dan pernikahan, serta berjualan kue untuk mendapatkan tambahan uang makan dan biaya hidup.

Billy juga pernah diundang untuk magang oleh Pemerintah Amerika Serikat dan berbicara di State Department Amerika Serikat. Dalam kunjungan ke Gedung Putih, ia juga bertemu dengan Presiden Barack Obama.

Pada 2017, ia ditunjuk sebagai utusan Indonesia yang berbicara tentang isu pendidikan di Kantor Pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat.

                                                                                  Bergengsi
Lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan bergengsi mungkin menjadi impian banyak mahasiswa. Akan tetapi, tidak dengan Billy. Lulus kuliah di ITB, ia langsung mendapatkan pekerjaan bergengsi di salah satu perusahaan minyak dan gas asal Inggris.

Hatinya gelisah meskipun mendapat gaji fantastis dan fasilitas yang memadai. Keputusannya bulat, memilih mengurusi yayasan yang memfokuskan pada pendidikan anak-anak Papua, Kitong Bisa, yang didirikan pada 2009.

Kitong Bisa mempunyai arti "kita bisa", dengan kata lain semua anak-anak Papua bisa meraih pendidikan meski berasal dari keluarga miskin.

Melalui Kitong Bisa, ia ingin memberikan akses pendidikan untuk anak-anak tidak mampu, khususnya di Papua dan Papua Barat. Sejumlah pelatihan keterampilan juga diselenggarakan.

Saat ini, Kitong Bisa melalui usaha sosialnya, mengoperasikan sembilan pusat belajar, dengan 158 relawan dan 1.100 anak. Sekitar 20 di antara anak didiknya menempuh ilmu di sejumlah perguruan tinggi ternama dunia. Lainnya ada yang menjadi pengusaha dan juga bekerja di sejumlah perusahaan.

"Saya melihat kompleksitas pendidikan dan juga akses pendidikan masih menjadi kendala di Papua, oleh karenanya kami fokus dalam pembangunan SDM. Hal ini sesuai juga dengan komitmen Presiden Jokowi dalam membangun SDM," ucap dia.

Sumber dana untuk pengoperasian pusat belajar berasal dari dua perusahaan di bawah naungan Kitong Bisa, yakni Kitong Bisa Consulting dan Kitong Bisa Enterprise.

Sekitar 30 persen dari keuntungan kerajinan tangan yang dijual melalui Kitong Bisa Enterprise disumbangkan ke yayasan. Kemudian 10 persen dari pendapatan Kitong Bisa Consulting juga disumbangkan untuk yayasan.

"Dari kiprah di Kitong Bisa, saya akhirnya berhasil meraih beasiswa di Oxford. Mereka tertarik karena saya memutuskan berhenti dari zona nyaman menjadi penggerak sosial dan pendidik untuk melakukan perubahan. Saya kemudian mendapatkan beasiswa dari Oxford," kata dia.

Ke depan, dia berharap pemerintah dan masyarakat fokus serta bahu membahu dalam membangun pendidikan di Papua dan Papua Barat, yang disesuaikan dengan konteks geografis dan psikologis masyarakat di wilayah itu.

Hasil pembangunan SDM, tidak bisa terlihat dalam waktu satu tahun dua tahun.

Namun, ia optimistis dalam jangka panjang, lima hingga 10 tahun ke depan, upaya mewujudkan Indonesia dengan SDM yang andal, termasuk dari kampung halamannya di Tanah Papua itu, baru terasa.