80 MACAM OBAT GENERIK LANGKA DI KAWASAN TIMUR

id

Jakarta (ANTARA) - Sekitar 80 macam obat generik sulit ditemukan di kabupaten/kota pada wilayah Indonesia Timur, kata Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Sri Indrawaty di Jakarta, Rabu.

"Yang langka kebanyakan obat-obat yang `fast moving` dan `life saving` seperti antibiotik injeksi, diazepam, cairan infus, dan sirup untuk anak-anak," kata Sri yang menyatakan tidak ingat seluruh rincian daftar obat yang tak tersedia di sebagian wilayah tersebut.

Menurut dia, hal itu terjadi karena harga yang ditetapkan untuk obat-obat generik tersebut tidak menutup kebutuhan biaya produksi.

Ia menambahkan, biaya distribusi obat generik ke berbagai wilayah di kawasan Indonesia Timur yang harus ditanggung produsen dan pedagang besar farmasi, yang 78 persen diantaranya berada di Pulau Jawa, juga cukup tinggi sehingga mereka enggan memasarkan obat ke sana.

"Karena itu dalam peraturan yang baru pemerintah menaikkan harga obat generik yang sebelumnya di bawah biaya produksi supaya obat-obat tersebut kembali tersedia," katanya.

Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tanggal 27 Januari 2010 tentang harga obat generik, pemerintah menaikkan menaikkan 22 jenis obat generik yang terdiri atas 33 item sediaan obat generik.

"Kanaikannya antara 2,8 persen sampai 30 persen," katanya.

Pemerintah, kata dia, juga memperbolehkan produsen dan atau pedagang besar farmasi menambahkan biaya distribusi ke dalam harga jual obat dengan mengatur plafon penambahan biaya distribusi berdasarkan wilayah.

Menurut ketentuan itu, PBF yang mendistribusikan obat generik ke daerah regional I termasuk DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Lampung dan Banten tidak boleh menambahkan biaya distribusi ke harga obat.

PBF yang menyalurkan obat generik ke daerah di regional II yang mencakup Pulau Sumatera, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung dan Nusa Tenggara Barat dapat menambahkan biaya distribusi maksimum lima persen.

Sementara PBF yang menyalurkan obat generik ke daerah di regional III seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Kalimantan, dan Sulawesi dapat menambahkan biaya distribusi maksimal 10 persen.

Untuk distribusi ke daerah di regional IV yang meliputi provinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat, PBF dapat menambahkan biaya maksimal 20 persen dari harga netto apotek dan pajak pertambahan nilai.

Kebijakan itu, kata dia, diharapkan dapat menjamin pemerataan ketersediaan dan keterjangkauan obat generik essensial di seluruh wilayah Indonesia.

"Tentunya itu akan diawasi, benar dilaksanakan atau tidak," katanya serta menambahkan pemerintah akan memberikan sanksi kepada produsen obat dan pedagang besar farmasi yang tidak mengikuti ketentuan.(*)