Merindukan Berdirinya Kembali Mathla'ul Anwar di Kampung Seupang

id Mathla'ul Anwar,Kampung Seupang,Madrasah Ibtidaiyah

Merindukan Berdirinya Kembali Mathla'ul Anwar di Kampung Seupang

Anak-anak Kampung Seupang, Desa Pajagan, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak Provinsi Banten sedang belajar di tenda pengungsian (Foto: Istimewa)

Mataram (ANTARA) - Kampung Seupang merupakan salah satu kampung yang terkenal di Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Dari kampung inilah dikenal gemerlap kilau batu Kalimaya hasil galian warga setempat dan sering diincar oleh wisatawan dalam dan luar negeri untuk dijadikan koleksi batu mulia.

Akses jalan yang harus dilewati menuju lokasi kampung yang berada di wilayah Desa Pajagan Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak Provinsi Banten itu masih berbatu dan terjal. Warga setempat berswadaya membangun jaringan jalan dan listrik untuk mendorong kemajuan kampungnya.

Namun, kampung yang eksotis di tepi Sungai Ciberang itu kini hanya tinggal cerita karena tersapu banjir bandang yang meluluh-lantakkan seluruh isi kampung beserta harta benda warganya pada awal tahun 2020. Bersyukur tidak ada korban jiwa, karena saat banjir terjadi di pagi hari, warga sedang siap-siap untuk bekerja.

Di kampung itu terdapat 39 rumah, satu masjid, dan satu sekolah madrasah yang sudah berdiri hampir 40 tahun. Sekolah dimaksud adalah “Madrasah Ibtidaiyah Mathla'ul Anwar Seupang” yang didirikan dengan swadaya warganya. Puluhan lulusan sekolah itu sudah melanjutkan belajarnya ke jenjang yang lebih tinggi di daerah lain.

Kondisi sekolah yang kini hancur menjadi puing-puing beserta rumah warga yang hanyut menjadi kisah tersendiri bagi warga kampung tersebut. Sebenarnya, kesedihan dan derita warga mulai terasa sejak adanya pembangunan mega proyek Waduk Karian yang berlokasi tidak jauh dari Kampung Seupang.

Setelah rampung sepenuhnya nanti Bendungan Karian yang dibangun sejak 2015 itu akan mengalirkan air untuk daerah Lebak, Serang, Cilegon, Tangerang, Kota Tangerang, Tangerang Selatan dan Jakarta. 

Apa daya, efek samping dari keberadaan waduk tersebut menjadi momok tersendiri bagi warga yang berdiam di sekitar tepi Sungai Ciberang. Banjir sering menerjang permukiman sambil membawa lumpur dan gelondongan kayu besar bersama derasnya arus sungai tersebut.

Warga tidak bisa berbuat apa-apa, karena apalah daya mereka sebagai rakyat biasa yang seringkali harus berhadapan dengan aparat dan penguasa yang mengusir mereka secara halus untuk meninggalkan kampung halaman dengan iming-iming ganti rugi yang kurang adil secara manusiawi.

Kini Madrasah Ibtidaiyah Mathla’ul Anwar dan Kampung Seupang hanya tinggal cerita dan kenangan yang membekas dalam jiwa warga setempat. Mereka harus menelan kesedihan demi kesedihan setelah diminta untuk direlokasi dengan janji ganti rugi yang sampai saat ini belum mereka dapatkan.

Warga Kampung Seupang saat ini harus rela menderita dan susah payah berkumpul di tenda pengungsian akibat banjir bandang yang menghancurkan rumah mereka beserta seluruh isinya.

Di sisi lain, entah apa lagi yang terpikir dalam benak anak-anak mereka terkait nasib dan masa depannya setelah sekolah yang mereka cintai kini tinggal onggokan sampah dan puing-puing reruntuhan sekolah.

Maka, kesedihan segenap warga Kampung Seupang seakan sempurna, dan hanya nuansa kemanusiaan dan nurani yang bisa merasakan empati terhadap mereka yang tertimpa bencana alam tersebut.

Pemerintah dan instansi terkait harus segera bergerak untuk memberi dukungan moril dan materil kepada warga Seupang supaya mereka bangkit dan semangat dalam menatap masa depan. Semoga relokasi dan ganti rugi yang manusiawi dan sering dijanjikan terhadap mereka dapat segera direalisasikan.

 

Mathla’ul Anwar Seupang

Baru-baru ini saya secara khusus mewawancari Sarinah (50), Abah Arun (85), dan Anis (22) sebagai pelaku sejarah berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Mathla'ul Anwar Seupang.

Menurut penuturan Sarinah, berdirinya sekolah madrasah tersebut diprakarsai oleh Kyai Wawi yang merupakan tokoh masyarakat dan warga asli Seupang pada medio akhir 1960-an.

Pembangunan sekolah tersebut adalah murni swadaya masyarakat setempat, dan inisiasi berdirinya sekolah itu disebabkan tidak adanya pendidikan dasar formal bagi masyarakat Seupang ketika itu.

Senada dengan Sarinah, Abah Arun menggambarkan, berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Seupang bermula dari inisiatif Kyai Wawi yang meminjamkan rumahnya untuk tempat belajar anak-anak Seupang.

Tidak lama kemudian terbangun beberapa lokal kelas yang masih menggunakan “hateup” (atap yang terbuat dari daun kiray, daun kelapa atau ilalang) dan “bilik” (dinding yang terbuat dari anyaman bambu).

Sementara itu Anis sebagai cucu perempuan dari Kyai Wawi menceritakan bahwa almarhum kakeknya adalah tokoh pendidik di Kampung Seupang. Sebelumnya di sana berdiri Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyyah asuhan Kyai Wawi yang santrinya bahkan berasal dari luar Jawa.

Kyai Wawi sendiri pada masa mudanya belajar di daerah Warunggunung Kabupaten Lebak. Kemungkinan besar sang Kyai membawa “bendera” Mathla’ul Anwar dari sekolah Mathla’ul Anwar Warunggunung. Baik Sarinah maupun Abah Arun dan Anis mengaku tidak mengetahui secara persis dari mana nama Mathla’ul Anwar berasal.

Mereka baru mengetahui bahwa Mathla’ul Anwar berasal dari daerah Menes Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten setelah berdirinya Madrasah Darurat Mathla’ul Anwar Care (MA Care) dan Posko Mathla’ul Anwar di Kampung Seupang.

Anak-anak di sana menyebut “Menes” dengan kata “Bines” serta mengaku ingin berkunjung ke tempat asal Mathla’ul Anwar itu karena ingin mengetahui lebih jauh bagaimana kiprah lembaga pendidikan tersebut, khususnya dalam bidang pendidikan.

Banyak harapan yang dikemukakan warga Kampung Seupang, khususnya keinginan untuk kembali berdirinya Madrasah Mathla'ul Anwar yang sebelumnya telah menjadi tempat pendidikan satu-satunya selama berpuluh-puluh tahun bagi warga setempat.

Mereka berharap di tempat barunya kelak tetap ada sekolah Mathla'ul Anwar sebagai tempat anak-anak menimba ilmu, sehingga nantinya akan muncul generasi muda Seupang yang tercerahkan.

 

*Penulis adalah anggota Departemen Organisasi, Kaderisasi, dan Keanggotaan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (OKK-PBMA) serta Koordinator Relawan Mengajar “MA Care” untuk Sekolah Darurat Madrasah Ibtidaiyah Mathla'ul Anwar Seupang.