"Pena di Atas Langit" : interesting, inspiring, and motivating (Resensi buku)

id Pena

"Pena di Atas Langit" : interesting, inspiring, and motivating (Resensi buku)

Wartawan senior penulis resensi buku "Pena di Atas Langit", Aat Surya Safaat (Foto: Istimewa)

Mataram (ANTARA) - Membaca buku “Pena di Atas Langit” karya Tofan Mahdi, saya teringat pengalaman pribadi, menulis berita di pesawat dalam perjalanan pulang pada malam hari dari Ottawa Kanada menuju New York Amerika di tahun 1995.

Pada masa-masa itu saya tengah mendapatkan amanah sebagai Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York. Saya bertugas di kota metropolitan yang dijuluki “The Big Apple” itu selama lima tahun, yakni sejak 1993 hingga 1998.  

Memang tidak ada larangan menyalakan laptop saat pesawat sudah mengudara secara stabil di atas ketinggian tertentu, asalkan tidak menggunakan internet. Kebetulan ketika itu belum ada alat komunikasi handphone (HP). Pelarangan menyalakan laptop dan perangkat elektronik lainnya di kabin pesawat hanya berlaku saat take off atau landing.

Ketika itu, setelah para penumpang menyantap hidangan makan malam dan lampu di kabin dimatikan, saya mengambil dan menyalakan laptop, lalu menulis berita yang tersisa dari liputan siang dan sore harinya di Ottawa.

Beritanya menarik, yaitu kehadiran Jose Manuel Ramos Horta pada seminar internasional tentang Timor Timur (sekarang Timor Leste). Ramos Horta adalah juru bicara bagi perlawanan Timor Timur di pengasingan.

Saya menulis berita dalam senyap, dengan menyalakan lampu di atas tempat duduk saya saat sebagian besar penumpang tengah tertidur atau mengantuk karena lampu pesawat di-off-kan dalam penerbangan langsung Ottawa-New York dengan durasi sekitar satu setengah jam itu.

Persis saat pesawat bersiap untuk landing, penulisan berita sudah rampung. Lalu, setelah turun dari pesawat di Bandara Internasional John F Kennedy New York, saya bergegas mencari taksi dan terus meluncur ke apartemen saya di kawasan Queens New York. Setibanya di apartemen, berita langsung saya kirim ke Jakarta.

Esok harinya berita tentang Ramos Horta yang menyudutkan Pemerintah itu dikutip banyak media di Jakarta, baik media cetak maupun media elektronik. Dalam berita tersebut saya juga mengangkat pernyataan diplomat muda Dino Patti Djalal yang menyanggah apa yang disampaikan Ramos Horta pada seminar di Ottawa itu, sehingga beritanya berimbang.  

Belakangan, Ramos Horta kemudian menjadi Presiden Timor Leste kedua sejak negara itu terpisah dari Indonesia melalui referendum pada 1999. Ia menjabat sebagai Presiden untuk masa jabatan 2007-2012.

Kemudian, sejak 2017 Ramos Horta menjadi Menteri Negara dan Penasehat untuk Keamanan Nasional Kabinet Pemerintah Konstitusional Ketujuh. Sebelumnya ia berkedudukan sebagai Perdana Menteri (2006 - 2007) dan Menteri Luar Negeri Timor Leste sejak 2002 hingga mengundurkan diri pada 2006. 

Dengan menceritakan pengalaman sebagaimana saya sebutkan di atas, point saya adalah bahwa menulis berita, artikel, atau bahkan catatan ringan di dalam pesawat yang sedang mengangkasa itu sangat mengasyikkan.

Kenapa? Tidak lain karena kita bisa menulis dalam senyap serta dengan keterbatasan waktu, sehingga bisa dan memang harus bisa berkonsentrasi penuh, terlebih ada perasaan bersyukur yang luar biasa karena tidak banyak orang yang mempunyai kesempatan amat  berharga seperti itu.

Saya yakin apa yang saya rasakan itu sama dengan yang dirasakan sahabat saya Tofan Mahdi yang menuliskan sebagian besar catatan ringannya di dalam pesawat sebagaimana bisa dibaca dalam bukunya yang berjudul “Pena di Atas Langit” itu.

Tofan menuliskan catatan ringannya dengan bahasa jurnalistik yang apik, menarik, dan kadang menggelitik. Sesuatu yang “berat” atau “sulit” bisa dibuatnya menjadi ringan dan gampang dicerna.

Sebagian besar catatan itu ditulisnya saat berada dalam perjalanan udara di atas ketinggian 30 ribu kaki. Menurut Tofan, sambil menikmati awan seringkali muncul inspirasi untuk dituliskan. Sebagian dari tulisan dalam buku itu sudah dibagikannya pada platform  Facebook dan beberapa catatan pernah dimuat di beberapa media cetak dan media online.

Tulisan dalam buku tersebut juga boleh disebut “gado-gado”, tidak tematik, dan tidak berurutan, tapi tetap enak dibaca, sehingga pembaca tidak terpaku harus membaca dari bab pertama sampai terakhir secara berurutan. Bebas saja membacanya, bisa dari depan dulu, dari tengah, atau langsung dari belakang. 

Terkait tulis-menulis itu sendiri, misalnya dalam menulis artikel, buku, bahkan tulisan ilmiah populer, ada satu pakem bahwa tulisan dimaksud harus dimulai dengan sesuatu yang “attractive” (menarik) dan diakhiri dengan sesuatu yang “impressive” (berkesan). Tofan nampaknya paham betul pakem tersebut.

Ia memulai tulisannya dengan cerita menarik tentang Malaysia dengn judul “KL Tower dan Kelebihan Malaysia”. Malaysia, menurut dia tak seindah dan seluas Indonesia, tetapi wisatawan asing lebih banyak datang ke negara tersebut.

Tidak lain karena negeri jiran itu lebih pandai memasarkan. Selain itu infrastruktur di dalam negerinya relatif bagus, kenyamanan di bandaranya sangat diperhatikan, dan transportasi publiknya handal, aman, dan nyaman.

Lebih dari itu, menurut Tofan, keramah-tamahan bagi warga Malaysia menjadi perhatian utama, sebab bisnis pariwisata sejatinya adalah bisnis hospitality (keramah-tamahan). Tulisan di bagian awal tentang Malaysia itu menjadi makin menarik karena diselingi dengan percakapan ringan dengan sopir taksi di Kuala Lumpur.

Sementara itu pada bagian akhir tulisannya, pria yang beristrikan Hj Rufi Yenuartik dan memiliki tiga anak, yakni Arzaky Rizky Muhammad, Rafeyfa Asyla Putri, dan Zuricha Aisha Putri (almarhumah) itu bercerita tentang kedekatan dia dengan ibundanya, Hj Siti Chabsah.

Dalam istilah Tofan, ibundanya adalah orang biasa banget yang lahir di Dusun Penulupan Desa Parasredjo Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Hj Siti Chabsah hanya bersekolah sampai kelas 2 SD.Tentu saja, membaca Al-Quran-nya lebih fasih daripada membaca tulisan Bahasa Indonesia.

Tofan yang lahir di Pasuruan Jawa Timur pada 21 Oktober 1974 itu menjadi anak yatim sejak usia lima tahun, sehingga praktis ibunya harus “pontang-panting” membiayai sekolah Tofan dan adik kandungnya yang seibu, Nurul Wardani yang kini menjalani karir sebagai  ASN (aparatur sipil negara) di Pemerintah Kota Pasuruan.

Hj Siti Chabsah sampai “nebeng” di rumah beberapa saudaranya di Pasuruan secara berpindah-pindah sambil membantu urusan rumah mereka, atau bahasa kasarnya menjadi pembantu rumah tangga di rumah saudara guna mendapatkan upah untuk membiayai sekolah kedua anaknya.  

Meski di tengah kesulitan hidup dan penderitaan, Hj Siti Chabsah tetap berusaha memperhatikan pendidikan Tofan dan adiknya, baik pendidikan umum maupun pendidikan agama serta mengasuh kedua anaknya itu dengan penuh kasih sayang.

Jika mengenang ibundanya yang wafat pada 7 Maret 2018 itu, satu hal yang sangat membekas dan berkesan di benak Tofan, yaitu kesabaran dan keikhlasan serta kegigihan ibunya yang luar biasa dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.

Secara keseluruhan, catatan-catatan ringan pada buku yang berjudul “Pena di Atas Langit” itu punya daya tarik tersendiri, terutama karena pemilihan angle yang pas dan bahasanya yang mengalir, sehingga tak heran diapresiasi oleh Dahlan Iskan yang diakui Tofan sebagai teladan serta guru jurnalistiknya itu.

Tidak lama setelah meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Jember pada 1997, Tofan memang bekerja di Jawa Pos, harian nasional yang terbit di Jawa Timur dibawah pimpinan Tokoh Pers Dahlan Iskan.

Apresiasi yang sama juga diberikan oleh pakar media Dr Agus Sudibyo (anggota Dewan Pers periode 2019-2022) dan veteran jurnalis yang juga penulis handal, Mas Djoko Pitono Hadiputro serta beberapa sahabat dan relasi bisnisnya, termasuk tentu saja pimpinannya di  PT Astra Agro Lestari Tbk. 

Saat ini Tofan menduduki jabatan sebagai Vice President of Communications PT Astra Agro Lestari (perusahaan kelapa sawit Grup Astra) dan Ketua Bidang Komunikasi GAPKI (Gabungan  Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia).

Adapun catatan yang perlu diberikan terhadap buku “Pena di Atas Langit” ini nampaknya hanya satu, yakni terkait judul buku. Judul yang mungkin lebih tepat untuk buku tersebut adalah “Pena di Atas Awan” karena Tofan menulis sebagian besar catatan ringannya saat ia berada di dalam pesawat yang mengudara di atas awan, dan bukan di atas langit.

Masukan ini barangkali bisa dipertimbangkan untuk penerbitan mendatang. Buku setebal 196 halaman itu sudah dicetak dua kali oleh Penerbit Tankali. Cetakan pertama pada 1 Juni 2019 (hampir 1000 eksemplar) dan cetakan kedua pada 2 Juli 2019 (dengan jumlah sebanyak 2500 eksemplar).

Sebagian dari buku cetakan kedua sudah beredar di Gramedia dan sebagian lainnya dijual secara online. Namun masih saja ada sahabat-sahabat Tofan yang “komplain” karena belum kebagian buku tersebut.

Last but not least, kalau boleh disimpulkan, kumpulan catatan ringan yang ditulis oleh praktisi komunikasi asal Kota Pasuruan Jawa Timur itu, bagi saya dan bagi para pembaca pada umumnya, jelas merupakan bacaan yang interesting, inspiring, and motivating. Selamat dan sukses buat Mas Tofan Mahdi……    

*Penulis Aat Surya Safaat adalah wartawan senior dan konsultan komunikasi. Pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York periode 1993-1998 dan Pemimpin Redaksi (Direktur Pemberitaan) ANTARA pada 2016.