HIZBUT TAHRIR INDONESIA DORONG PEMERINTAH TERBITKAN PERDA AHMADIYAH

id

     Mataram, 27/3 (ANTARA) - Pengurus Dewan Pimpinan Daerah I Hizbut Tahrir Indonesia Nusa Tenggara Barat, mendorong pemerintah agar menerbitkan peraturan daerah yang mengatur tentang penyelesaian Ahmadiyah.

     "Kami akan bersama MUI menemui Gubernur NTB untuk mendesak penerbitan perda tentang penyelesaian masalah Ahmadiyah," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Sulaiman, SE, MPd, usai seminar tentang Ahmadiyah, di Mataram, Minggu.

     Seminar yang berlangsung di Aula Andayani Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB itu diselenggarakan DPD I HTI NTB bekerja sama dengan Halqah Islam dan Peradaban, yang dihadiri lebih dari 100 orang peserta.

     Seminar itu menghadirkan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) NTB Prof. Saiful Muslim dan pengurus MUI NTB lainnya seperti Syahdan Ilyas, Direktur Halqah Islam dan Peradaban Firdaus Husein Nafarin.

     Ketua DPD I HTI NTB itu juga tampil sebagai salah satu pembicara kunci dalam seminar yang bertema mencari solusi terbaik untuk penyelesaian Ahmadiyah.

     Umumnya para pembicara dalam seminar itu mendukung upaya MUI NTB mengajukan usulan pembekuan organisasi Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di wilayah NTB.     

     Sulaiman mengatakan, keberadaan peraturan daerah (perda) tentang Ahmadiyah itu dipandang penting agar penyelesaian masalah Ahmadiyah terarah dan komprehensif.

     "Perda yang diharapkan itu akan mengatur tentang larangan terhadap aktivitas organisasi keagamaan yang menodai agama tertentu, seperti Ahmadiyah yang menodai Islam," ujarnya.

     Karena itu, kata Sulaiman yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Gunung Rinjani (UGR) Lombok Timur, pemerintah daerah harus mendukung upaya penyelesaian masalah Ahmadiyah itu dengan menerbitkan perda.

     Diharapkan, dengan adanya perda itu maka semua pihak memahami tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam menyikapi masalah Ahmadiyah.

     "Masyarakat penganut Islam di Lombok Timur atau daerah lainnya di NTB, juga akan patuh pada perda itu, dan tidak ada lagi mencuat aksi penyerangan kepada komunitas warga Ahmadiyah karena merasa bahwa Ahmadiyah telah menodai agama Islam," ujarnya.

     Tokoh agama Islam di NTB itu menekankan bahwa yang diupayakan pembubarannya adalah organisasi Jamaah Ahmadiyah, bukan orang-orangnya karena akan dikategorikan melanggaran Hak Azasi Manusia (HAM).

     Menurut dia, kecenderungan motif dibalik aksi penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah karena umat Islam merasa bahwa Ahmadiyah telah menodai Islam melalui tata cara peribadatannya.

     Sementara itu, Ketua MUI NTB Prof. Saiful Muslim, mengatakan, pada 24 Februari lalu, pihaknya sudah menyampaikan permintaan pembubaran Ahmadiyah di wilayah NTB, kepada Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, untuk ditindaklanjuti.

     Saat menyampaikan permintaan kepada Gubenrur NTB itu, MUI NTB didukung pengurus organisasi Islam lainnya dari Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dewan Masjid, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDDI), pengurus Jamaah Hisbut Tahrir dan Dewan Dakwa Islam Indonesia (DDII).

     Namun, hingga kini Gubernur NTB belum menindaklanjutinya meskipun para tokoh lintas agama yang tergabung dalam Forum Komunikasi Umat Beragama Provinsi (FKUB) NTB, juga telah menemui Gubernur NTB guna membicarakan berbagai persoalan keagamaan, termasuk upaya penyelesaian masalah Ahmadiyah.  

     "Saya rasa sudah terlalu waktu penantian sikap Pemprov NTB terhadap permasalahan Ahmadiyah. Tapi, melalui seminar yang digelar HTI NTB diharapkan mencuat ide-ide baru sebagai solusi alternatif penyelesaian Ahmadiyah," ujarnya.

     Nanti, kata Saiful, HTI dan MUI akan menyikapinya lagi dengan sikap tegas agar pemerintah daerah di NTB menerbitkan perda penyelesaian masalah Ahmadiyah.

     Hingga kini, Jemaat Ahmadiyah di wilayah NTB, diperkirakan lebih dari 180 orang. Sebanyak 36 Kepala Keluarga (KK) atau 138 jiwa diantaranya berada  di Mataram, ibukota Provinsi NTB dan 42 jiwa lainnya berada di Kabupaten Lombok Tengah. (*/Devi)