Kejati: Pemanggilan Wabup Lombok Utara tunggu hasil audit kerugian

id wabup klu,tersangka korupsi,audit kerugian

Kejati: Pemanggilan Wabup Lombok Utara tunggu hasil audit kerugian

Gedung Kejati NTB. ANTARA/Dhimas B.P.

Mataram (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Sungarpin mengatakan pemanggilan Wakil Bupati Lombok Utara Danny Karter Febrianto sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek penambahan ruang IGD pada RSUD Lombok Utara menunggu hasil audit kerugian negara.

"Belum kami panggil, 'kan hasil audit internal belum keluar, ya, itu nanti kami lihat hasil audit terbaru," kata Sungarpin di Mataram, Kamis.

Baca juga: Alasan sakit, Wabup Lombok Utara tak penuhi panggilan Kejati NTB

Baca juga: KPK memantau Kejati NTB tangani kasus korupsi Wabup Lombok Utara

Baca juga: Diduga korupsi proyek ruang operasi dan ICU, mantan Direktur RSUD Lombok Utara ditahan


Hal itu dikatakan Sungarpin ketika diminta keterangan perihal tanggapan Kejati NTB soal pernyataan Danny Karter yang siap penuhi panggilan penyidik jaksa.

Dari kasus ini, kata dia, seluruh tersangka, kecuali Danny Karter belum menjalani pemeriksaan sebagai tersangka terhitung sejak penetapan penyidik jaksa di akhir September 2021.

Dalam kasus tersebut, Wabup Lombok Utara menjadi tersangka bersama Direktur RSUD Lombok Utara berinisial SH, pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek berinisial HZ, pelaksana proyek dari PT Batara Guru Group MF, dan Direktur Konsultan Pengawas CV Indomulya Consultant berinisial LFH.

Penyidik jaksa menetapkan mereka sebagai tersangka dalam kapasitas ketika masih berperan sebagai pihak yang meminjam bendera konsultan pengawas CV Indo Mulya Consultant.

Terkait dengan kerugian negara yang sebelumnya telah dikantongi penyidik berdasarkan hasil temuan Inspektorat NTB senilai Rp742,75 juta, Sungarpin menanggapi bahwa penyidik masih perlu mendapatkan hasil hitung terbaru.

"Iya, jadi tunggu hasil terbaru," ujarnya.

Proyek penambahan ruang IGD pada RSUD Lombok Utara ini dikerjakan oleh PT Batara Guru Group. Proyek tersebut dikerjakan dengan nilai Rp5,1 miliar.

Dugaan korupsinya muncul usai pemerintah memutus kontrak proyek di tengah progres pengerjaan. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya kerugian negara dari Inspektorat NTB.

Modus korupsinya berkaitan dengan pekerjaan proyek yang tetap dinyatakan selesai meskipun masih ada dugaan kekurangan volume pekerjaan.