PEMPROV NTB BERUPAYA HAPUS KEKERASAN BERBASIS GENDER

id

     Mataram, 18/10 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terus berupaya menghapus kekerasan berbasis gender, meskipun harus dilakukan dalam jangka waktu panjang.

     "Upaya penghapusan kekerasan berbasis gender tidaklah mudah dan sederhana, karena danya berbagai hambatan, tantangan dan ancaman, namun hal itu harus terus diupayakan," kata Asisten III Setda NTB H Wildan, pada pembukaan seminar yang diselenggarakan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, di Mataram, Kamis.

     Seminar itu menekankan upaya mengukuhkan komitmen pemenuhan hak-hak konstitusi bagi perempuan korban kekerasan atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

     Peserta seminar merupakan pimpinan badan, dinas/instansi, dan satuan kerja, pimpinan dan jajaran Komnas Perempuan, perwakilan akademisi dan LBH Apik Mataram, serta undangan lainnya.

     Nara sumbernya, selain dari unsur pemerintah daerah, juga Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah, dan Komisioner Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional (GK-PKHN) Komnas Perempuan/Ketua Subkom Rfeormasi Kebijakan Komnas Perempuan Kunthi Trideiyanti, dan Komisioner Komnas Perempuan Saur Tumiur Situmorang.

     Wildan mengatakan, Pemprov NTB tetap optimistis akan mampu menghapus kekerasan berbasis gender, apabila ada keterpaduan gerak berbagai pihak.

     Sejauh ini, upaya yang dilakukan Pemprov NTB terkait upaya penghapusan kekerasan berbasis gender itu, yakni pembentukan pelayanan berbasis masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam aksi penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, melalui Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) dan pondok pesantren.

     Selain itu, adanya Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pencegahan dan Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Tindak Kekerasan.

     Keberadaan organisasi masyarakat dan LSM peduli perempuan dan anak, serta lembaga-lembaga international pemerhati perempuan dan anak, serta komitmen international, nasional dan lokal, dan berkembangnya teknologi informasi yang dapat dimanfaatkan dalam pembentukan jaringan (networking).

     Secara umum permasalahan, tantangan, dan hambatan yang dihadapi itu antara lain tuntutan international untuk mengatasi kekerasan, penegakan hak azasi manusia, dan kesetaraan gender, dan norma, nilai, dan sistem kepercayaan yang menjadikan perempuan dan anak rentan terhadap kekerasan.

     "Juga adanya daya tarik tourisme sebagai salah satu strategi pertumbuhan ekonomi, namun juga membawa dampak negatif seperti seks tourisme dan narkotika," ujarnya.

     Wildan mengatakan, berbagai kebijakan yang ditempuh dan beragam program yang diimplementasikan, ternyata belum cukup mampu untuk mengatasi persoalan yang muncul akibat kekerasan.

     Korban kekerasan masih saja banyak, karena belum optimalnya sosialisasi dan penyadaran masyarakat yang juga masih belum memperlihatkan hasil yang signifikan.

     Ia menyebut masalah dan kendala yang dihadapi, diantaranya data kekerasan terhadap perempuan dan anak relatif belum akurat, koordinasi, strategi, kontrol dan sinergi program belum optimal, dan mekanisme sistem rujukan penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak belum optimal.

     Sedangkan isu strategis untuk penguatan jaringan kerja dan manajemen kekerasan terhadap perempuan, antara lain penumbuhan dan penguatan kelembangaan dan jaringan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah, serta koordinasi antar daerah secara nasional.

     Selain itu, penyediaan database terpilah tentang permasalahan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta penanganan perempuan dan anak korban kekerasan.

     "Juga advokasi dan penegakkan hukum anti kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta rehabilitasi dan reintegrasi perempuan korban kekerasan," ujarnya. (*)