Israel gunakan penahanan administratif untuk balas dendam Palestina

id israel,palestina,penahanan administratif,komisi tahanan palestina

Israel gunakan penahanan administratif untuk balas dendam Palestina

Gambar penjara Israel, Ofer. ANTARA/Mostafa Alkharouf- Anadolu)

Telah terjadi peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal penahanan administratif

Ramallah, Palestina (ANTARA) - Ketua Komisi Tahanan Palestina Kadura Fares menyebutkan Israel menggunakan penahanan administratif, yang diwariskan dari mandat Inggris, sebagai alat untuk membalas dendam terhadap rakyat Palestina.

"Telah terjadi peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal penahanan administratif," ujar Fares kepada Anadolu.

"Delapan puluh persen dari mereka yang ditahan setelah 7 Oktober, ditahan tanpa dakwaan," ujar dia.

Pejabat itu menekankan bahwa "Israel menahan warga Palestina dengan cara yang pendendam dan selektif.”

Baca juga: Israel tak akan dapatkan perdamaian tanpa Negara Palestina

Fares menjelaskan bahwa "Setelah ditangkap, para warga Palestina dibagi menjadi dua kelompok. Mereka dengan dakwaan, dan yang tanpa dakwaan."

“Belum pernah dalam sejarah Palestina jumlah tahanan administratif meningkat sebanyak ini,” katanya.

Fares menyebutkan bahwa Israel tidak berhenti dengan hanya menangkapi para warga Palestina.

"... juga menghancurkan rumah-rumah mereka, menyiksa, dan mengintimidasi mereka dalam perjalanan ke penjara dan selama interogasi sebagai bagian dari perang balas dendam terhadap rakyat Palestina,” katanya.

Baca juga: Biden ragu kesepakatan pembebasan sandera Gaza segera tercapai

"Warga Palestina yang ditahan mengalami interogasi brutal, kelaparan, dingin, dan penyiksaan setiap jam setiap jam sepanjang hari," sebut Fares, menekankan bahwa “hal ini paling sering menyebabkan kematian mereka.”

"Israel telah menjadi rezim menjijikkan yang benar-benar hilang kendali," lanjutnya.

Dia menyebutkan bahwa "Israel dimulai sebagai kelompok teroris dan sekarang berubah menjadi koalisi geng."

Fares mengatakan Israel menahan kalangan warga Palestina yang aktif di masyarakat, seperti akademisi, mantan anggota dewan legislatif, dan administrator institusi.

Dia mengatakan perlawanan Palestina akan mencakup penangguhan penahanan administratif dalam negosiasi pertukaran sandera, namun Israel diperkirakan akan menolak usulan tersebut.

Sementara itu, Waleed Al-Houdali, penulis Palestina yang pernah menjadi tahanan mengatakan Israel menggunakan penahanan administratif untuk mengintimidasi rakyat Palestina dan mematahkan semangat mereka untuk memainkan peran sosialnya.

Houdali pernah dipenjara selama 12 tahun dan menjadi tahanan administratif dua kali selama 20 bulan dan empat bulan.

Baca juga: Wapres Ma'ruf Amin mengajak pemimpin agama di Yunani akhiri konflik Israel-Palestina

"Penahanan administratif diperbarui pada momen terakhir ketika kita berharap dibebaskan. Ini dilakukan untuk memberikan tekanan psikologis kepada tahanan dan keluarga mereka," ujar Houdali.

"Pengadilan-pengadilan penahanan administratif itu seperti pertunjukan teater," kata sang penulis, dan menyebut pengadilan seperti itu sebagai "alat perang psikologis."

Istri Houdali juga ditangkap dan dipisahkan dari putrinya yang masih balita. Ia dimasukkan ke tahanan administratif selama 36 bulan.

Sejak perang Israel di Jalur Gaza mulai berlangsung pada 7 Oktober, gelombang besar penahanan dan penangkapan telah terjadi di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Sudah sebanyak 4.675 rakyat Palestina ditangkap oleh pasukan Israel, menurut data terbaru dari kelompok urusan tahanan Palestina.

Sedikitnya 2.870 warga Palestina ditahan di penjara Israel di bawah penahanan administratif; 2.345 ditahan sejak 7 Oktober. Angka itu merupakan yang tertinggi dalam 30 tahun.

Penahanan administratif memungkinkan otoritas Israel untuk memperpanjang masa penahanan seorang tahanan tanpa dakwaan atau pengadilan.

Kebijakan seperti itu diwarisi dari mandat rezim Inggris terhadap Palestina. Dengan kebijakan tersebut, di bahwa undang-undang darurat 1945, Inggris menahan warga Palestina tanpa dakwaan.

Kebijakan yang dilarang oleh hukum internasional itu telah diterapkan Israel terhadap seluruh warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, sejak 1967.

Sumber: Anadolu

Baca juga: Macron: Memerangi terorisme bukan berarti membumihanguskan Jalur Gaza

Baca juga: Sekitar 70 persen lebih warga Gaza alami kelaparan akut