Pengadilan Mataram terima pelimpahan berkas korupsi mantan Wali Koto Bima

id pengadilan mataram,pelimpahan berkas korupsi,mantan Wali Koto Bima,KPK

Pengadilan Mataram terima pelimpahan berkas korupsi mantan Wali Koto Bima

Foto arsip-Wali Kota Bima NTB periode 2018-2023 Muhammad Lutfi (kiri) berjalan menuju lokasi konferensi pers terkait penahanan dirinya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (5/10/2023). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/Spt.)

Iya, berkas pelimpahan sudah diterima
Mataram (ANTARA) - Pengadilan Negeri Mataram, Nusa Tenggara Barat menerima pelimpahan berkas perkara korupsi milik mantan Wali Kota Bima Muhammad Lutfi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Juru Bicara Pengadilan Negeri Mataram Kelik Trimargo di Mataram, Senin, membenarkan bahwa pihaknya baru menerima hari ini pelimpahan berkas perkara Muhqmmad Lutfi dari KPK.

"Iya, berkas pelimpahan sudah diterima. Karena baru diterima hari ini, Pak Ketua Pengadilan Negeri Mataram belum menetapkan siapa saja majelis hakim yang akan menyidangkan," kata Kelik.

Dengan belum adanya penetapan susunan majelis hakim, pengadilan juga belum dapat menentukan agenda sidang perdana dari perkara tersebut.

"Kalau sudah ditunjuk hakimnya, baru hakim yang nanti menentukan kapan sidangnya," ujar dia.

Perkara korupsi milik Muhammad Lutfi teregister di Pengadilan Negeri Mataram dengan nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2024/PN Mtr. Perkara tersebut didaftarkan pada Senin (15/1).

Dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Mataram, tercatat ada empat jaksa penuntut umum dari KPK yang bertugas menyidangkan perkara Muhammad Lutfi.

Empat jaksa penuntut umum tersebut adalah Asril, Diky Wahyu Ariyanto, Agua Prasetya Raharja, dan Johan Dwi Junianto.

Kuasa hukum Muhammad Lutfi, Abdul Hanan mengaku telah menerima informasi pendaftaran perkara tersebut.

"Iya, kami pada dasarnya siap mendampingi klien kami dalam menjalani proses persidangan," ujar Hanan.

Terkait keberadaan dari Muhammad Lutfi, dia mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut dari KPK.

"Tetapi, kalau berbicara aturan KUHAP, ketika dilimpahkan berkas ke pengadilan, harus diikuti dengan pelimpahan tersangka. Namun, kapan dilimpahkan (tersangka) ke pengadilan, kami serahkan ke KPK," ujar dia.

Begitu juga dengan rencana penitipan penahanan Muhammad Lutfi sepanjang menjalani persidangan di Kota Mataram, Hanan mengatakan pihaknya menunggu kabar dari KPK.

"Kami belum tahu dimana dititipkan, kita tunggu saja," ucap dia.

Wali Kota Bima periode 2018-2023 menjalani penahanan KPK pada tanggal 5 Oktober 2023. KPK menahan Muhammad Lutfi setelah berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan TPPU.

Kasus yang menjerat Lutfi berawal pada medio tahun 2019. Saat itu, Lutfi bersama dengan salah seorang anggota keluarga mulai mengondisikan proyek-proyek yang dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.

Lutfi kemudian meminta dokumen berbagai proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.

Dengan memanfaatkan jabatannya, Lutfi kemudian memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan wali kota Bima.

Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019-2020 itu mencapai puluhan miliar rupiah.

Lutfi kemudian secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.

Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata dan faktanya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.

Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari para kontraktor yang dimenangkan.

Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut antara lain proyek pelebaran jalan Nungga Toloweri serta pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di perumahan Oi'Foo.

Teknis penyetoran uang kepada Lutfi dilakukan melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya.

Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi, dari sejumlah pihak, dan tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.

Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf (i) dan/atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.