Sistem keuangan RI terjaga di tengah ketidakpastian dunia

id stabilitas sistem keuangan,sistem keuangan,ketidakpastian dunia Oleh Martha Herlinawati Simanjuntak

Sistem keuangan RI terjaga di tengah ketidakpastian dunia

Gedung Bank Indonesia. ANTARA/bi.go.id/pri.

Jakarta (ANTARA) - Saat ini, ketidakpastian global masih berlanjut. Inflasi Amerika Serikat (AS) memang menurun tapi masih jauh dari sasaran 2 persen sehingga meningkatkan ketidakpastian waktu dan besaran penurunan suku bunga kebijakan AS atau Fed Funds Rate (FFR).

Suku bunga kebijakan FFR AS yang tinggi di kisaran 5,25-5,50 persen pun diperkirakan masih akan berlangsung lebih lama hingga paruh pertama 2024.

Selain itu, ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia pun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.

Di sisi lain, perekonomian di Tiongkok masih belum tumbuh kuat. Krisis properti dan konsumsi yang melemah menjadi masalah utama yang sedang dihadapi, dan akan berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi global bahkan meningkatnya risiko stabilitas sistem keuangan global.

Di tengah masih tingginya ketidakpastian global, kondisi stabilitas sistem keuangan domestik mampu terjaga dengan baik. Ketahanan sektor keuangan yang kuat ditunjukkan oleh sejumlah faktor, di antaranya likuiditas yang memadai, risiko kredit yang menurun, permodalan yang sangat kuat, serta ketahanan korporasi yang baik.

Ketahanan sektor keuangan dapat terjaga seiring risiko yang terkendali mendukung pertumbuhan intermediasi. Hal itu mendorong tetap stabilnya kondisi sistem keuangan domestik.

Perekonomian Indonesia pada 2023 tetap kuat dan berdaya tahan di tengah tantangan terjadinya dampak rambatan dari perlambatan ekonomi dan tekanan kenaikan inflasi global.

Pada tahun itu, Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,05 persen, terutama didorong oleh akselerasi belanja Pemerintah pada akhir tahun dan percepatan penyelesaian beberapa proyek strategis nasional (PSN).

Risiko kredit perbankan tetap terjaga dengan rasio non performing loan (NPL) alias kredit bermasalah secara agregat per Desember 2023 sebesar 2,19 persen, menurun dibanding tahun sebelumnya sebesar 2,44 persen.

Meski secara umum risiko kredit menurun, perbankan tetap memperkuat upaya mitigasi risiko ke depan dengan membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang relatif tinggi, serta menjaga rasio permodalan capital adequacy rasio (CAR) tetap tinggi.

Likuiditas perbankan memperlihatkan ruang yang cukup untuk mendorong pertumbuhan kredit lebih lanjut. Rasio AL/DPK masih tercatat tinggi sebesar 28,73 persen pada 2023.

Menurut Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung, kredit perbankan tetap tumbuh dengan baik. Pada Februari 2024 pertumbuhan kredit perbankan tercatat sebesar 11,28 persen secara year on year (yoy) didukung oleh ketersediaan likuiditas bank dan permintaan kredit dari dunia usaha yang masih tumbuh dengan baik.

Kondisi likuiditas perbankan pun masih cukup, yang saat ini rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) masih berada di 27,41 persen.

Alat likuid termasuk surat-surat berharga yang dimiliki seperti surat berharga negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah BI (SRBI) bisa menjadi sumber likuiditas dalam penyaluran kredit.

Dengan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) akan kembali normal pada 2024 serta masih tingginya alat likuid perbankan, pertumbuhan kredit diperkirakan tumbuh di kisaran 10--12 persen di tengah konteks risiko global dan dampak rambatannya kepada domestik.

Dari sisi industri keuangan non-bank (IKNB), ketahanan perusahaan pembiayaan, fintech lending, pegadaian, dan modal ventura tetap terjaga baik, tercermin dari kondisi permodalan yang baik dan risiko pembiayaan yang terkendali.

Demikian juga asuransi dan dana pensiun menunjukkan kinerja yang positif. Potensi spillover risiko dari IKNB ke perbankan relatif terbatas karena interkoneksi IKNB dengan sektor perbankan yang relatif kecil.

Sementara itu, ketahanan korporasi didukung terjaganya repayment capacity dengan memadainya interest coverage ratio (ICR) korporasi secara agregat yaitu sebesar 2,11 kali, membaiknya probability of default (PD), serta terjaganya rasio utang berisiko atau debt at risk (DaR).

Namun demikian, penurunan excess saving korporasi di beberapa sektor yang dibarengi dengan pertumbuhan utang yang tinggi dan penjualan yang menurun perlu dicermati.

Di sektor rumah tangga, risiko kredit tetap terjaga didukung kebijakan insentif fiskal dan peningkatan pendapatan yang mendorong terjaganya repayment capacity tercermin dari debt service ratio (DSR) yang stabil.

Terjaganya stabilitas sistem keuangan turut didukung oleh kebijakan sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau melalui bauran kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia.

Bank Indonesia secara konsisten menetapkan bauran kebijakan yang diarahkan untuk menjaga stabilitas (pro-stability) melalui kebijakan moneter, serta mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth) melalui kebijakan makroprudensial.

Bauran kebijakan Bank Indonesia juga diperkuat dengan inovasi, sinergi, dan koordinasi BI baik dengan Pemerintah, otoritas terkait, dan mitra strategis lainnya.


Intermediasi membaik

Pengetatan kebijakan moneter negara maju yang berlangsung lebih lama serta inflasi yang masih tinggi menjadi tantangan bagi bank sentral secara global.

Kondisi tersebut menyebabkan ekonomi global diperkirakan tumbuh sebesar 3 persen pada 2024. Sementara, perekonomian Indonesia akan membaik dengan peningkatan pertumbuhan mencapai 4,7-5,5 persen pada 2024.

Ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang meningkat, inflasi yang terjaga, suku bunga yang kondusif, serta berlanjutnya PSN  mendorong optimisme peningkatan pertumbuhan kredit dalam negeri.

Intermediasi perbankan ke depan juga didukung oleh ketahanan perbankan yang kuat, yaitu risiko kredit yang rendah dan permodalan yang tetap kuat.

Dari sisi permintaan, pembiayaan korporasi akan meningkat seiring dengan prospek pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, konsumsi rumah tangga yang tangguh atau resilien turut meningkatkan permintaan kredit konsumsi.

Dari sisi inklusi, kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan tumbuh seiring dengan perbaikan kinerja UMKM dan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berlanjut di 2024.

Dengan perkembangan tersebut, intermediasi perbankan diperkirakan tumbuh lebih tinggi menjadi sebesar 10--12 persen pada 2024 dan terus meningkat pada 2025 pada kisaran 11--13 persen.

Ke depan, stabilitas sistem keuangan akan tetap terjaga dengan kinerja intermediasi yang membaik di tengah ketidakpastian global yang masih berlanjut pada 2024.

Kemampuan RI menjaga keberlanjutan pertumbuhan menunjukkan bahwa segenap kebijakan beserta instrumen yang disiapkan mampu menahan dari guncangan gejolak global.