Jakarta (ANTARA) - Ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016, banyak yang meramalkan bakal terjadi perubahan besar dalam kebijakan ekonomi, baik di dalam negeri AS maupun di luar negeri, termasuk di Indonesia.
Begitupun dalam Pemilu 2024, ketika Trump unggul atas rivalnya Kamala Harris dengan meraih sekitar 50,9 persen suara.
Kebijakan-kebijakan Trump, terutama yang mengutamakan pendekatan proteksionisme, tampak sebagai tantangan awal bagi banyak negara berkembang.
Trump seperti sebelumnya juga diperkirakan bakal membawa arah baru bagi kebijakan ekonomi dunia.
Dengan pendekatan proteksionisme yang diusung dalam kampanye "America First," Trump mengutamakan kepentingan ekonomi domestik AS dan mendorong kebijakan yang menekan ketergantungan pada negara-negara lain.
Hal itu menjadi faktor yang perlu diwaspadai oleh negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dani Rodrik, Profesor Ekonomi di Harvard, berpendapat bahwa proteksionisme di negara maju seperti AS sering kali membatasi ruang pertumbuhan bagi negara berkembang.
Meskipun proteksionisme bertujuan untuk melindungi pasar domestik, negara berkembang dapat menghadapi tekanan lebih besar dalam mencari pasar alternatif atau dalam bersaing di sektor-sektor lain.
Kebijakan ini juga dapat mempengaruhi dinamika perdagangan global dan menekan negara berkembang untuk fokus pada pasar regional atau dalam negeri sebagai alternatif.
Mengacu pula pada pendapat, Joseph Stiglitz, Ekonom dan Pemenang Nobel Ekonomi, yang memperingatkan bahwa proteksionisme AS dapat merugikan rantai pasok global, dan bisa berdampak pada negara berkembang yang menjadi bagian dari rantai tersebut.
Ia menekankan pentingnya menjaga keterbukaan ekonomi, karena negara berkembang bergantung pada akses pasar global untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mereka.
Proteksionisme dapat meningkatkan biaya produksi, memengaruhi ekspor, dan memicu ketidakstabilan ekonomi di negara-negara berkembang.
Faktanya memang proteksionisme di AS itu, pada akhirnya dapat mengurangi peluang ekspor bagi negara-negara berkembang.
Namun, di sisi lain, hal itu kian mendorong negara-negara berkembang menemukan strategi alternatif, termasuk diversifikasi produk, peningkatan kualitas, dan pengembangan pasar dalam negeri atau regional untuk memitigasi dampak tersebut.
Bagi Indonesia, kebijakan-kebijakan ini memunculkan sejumlah tantangan sekaligus peluang dalam memperkuat kemandirian ekonomi. Termasuk tantangan dan peluang ekspor bagi masyarakat di tanah air.
Trump memperkenalkan tarif impor tinggi untuk melindungi industri AS dan mengurangi defisit perdagangan. Kebijakan ini berdampak langsung pada negara-negara yang bergantung pada ekspor ke AS, termasuk Indonesia.
Sektor-sektor seperti tekstil, sepatu, dan elektronik menghadapi ketidakpastian, tetapi sekaligus menjadi momentum bagi pelaku usaha Indonesia untuk meningkatkan kualitas dan inovasi produk agar lebih kompetitif di pasar global.
Dengan memanfaatkan tekanan ini sebagai dorongan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada satu pasar ekspor dan mencari peluang di wilayah lain. Dan ini tentu saja menjadi peluang untuk memperkuat daya saing produk lokal.
Di bawah tekanan proteksionisme, pelaku usaha di Indonesia didorong untuk mengembangkan produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, mencakup perbaikan mutu, efisiensi produksi, dan inovasi produk yang dapat menjangkau pasar internasional.
Pemerintah juga harus turut mendukung melalui insentif pajak, penyederhanaan perizinan, dan peningkatan keterampilan tenaga kerja.
Inisiatif ini bertujuan untuk mempercepat peralihan Indonesia dari eksportir komoditas mentah menjadi eksportir produk jadi bernilai tambah, yang dapat menguntungkan perekonomian secara keseluruhan.
Kerja Sama Regional
Mengacu pada pendapat Direktur Earth Institute, Columbia University Jeffrey Sachs yang mengemukakan bahwa negara berkembang sebaiknya meningkatkan kerja sama regional dan memperkuat blok perdagangan seperti ASEAN atau Mercosur untuk menciptakan pasar yang lebih stabil dan tangguh.
Mercosur adalah organisasi ekonomi dan politik yang didirikan pada tahun 1991 oleh empat negara di Amerika Selatan, yaitu Argentina, Brasil, Paraguay, dan Uruguay.
Ia juga mendorong negara berkembang untuk memperjuangkan reformasi dalam organisasi perdagangan internasional, seperti WTO, untuk melindungi kepentingan mereka dari kebijakan proteksionis negara maju.
Merespons kebijakan AS itu pula, Paul Krugman, Ekonom dan Pemenang Nobel menyarankan agar negara berkembang meningkatkan nilai tambah produk ekspor dan beralih ke sektor-sektor yang memiliki rantai pasok lebih kompleks dan sulit dipindahkan oleh kebijakan proteksionisme.
Misalnya, negara-negara berkembang bisa fokus pada industri yang menghasilkan produk dengan teknologi atau layanan khusus yang lebih sulit untuk digantikan oleh negara maju.
Dampak kebijakan proteksionisme AS juga mestinya bisa mendorong Indonesia untuk memperluas kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik, mengurangi ketergantungan pada AS sebagai pasar utama.
Kerja sama regional, termasuk melalui ASEAN dan perjanjian dengan negara seperti China, Jepang, dan Korea Selatan, membuka akses terhadap pasar yang lebih stabil serta transfer teknologi dan investasi.
Langkah ini menjadikan sistem ekonomi Indonesia lebih beragam dan tangguh, dengan peluang bagi UKM untuk tumbuh dalam pasar internasional. Termasuk untuk menggarap peluang investasi dalam infrastruktur dan konektivitas nasional.
Pemerintah Indonesia dapat mengambil inspirasi untuk memperkuat infrastruktur, mengikuti jejak AS yang di bawah Trump dengan memperbanyak pembangunan infrastruktur untuk merangsang ekonomi.
Dengan investasi besar di jalan tol, pelabuhan, bandara, dan jalur kereta api, pemerintah bisa mendorong kian lancarnya distribusi dan akses produk Indonesia ke pasar internasional.
Infrastruktur yang kuat juga mempercepat pengembangan sektor pariwisata dan perdagangan yang penting untuk peningkatan ekonomi daerah.
Kebijakan ekonomi Trump yang lebih selektif terhadap impor juga mendorong UKM Indonesia untuk bereksplorasi mencari pasar baru dan menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan internasional.
Dengan bantuan teknologi digital, UKM dapat memanfaatkan platform e-commerce untuk memperluas jangkauan produk mereka ke seluruh dunia.
Pemerintah juga penting untuk mendukung transformasi ini dengan menyediakan pelatihan digital untuk pelaku UKM, mendorong mereka untuk berinovasi dan memanfaatkan teknologi dalam memperluas pasar.
Meskipun Trump menarik AS dari Perjanjian Paris dan kerap dianggap mengabaikan isu lingkungan, Indonesia justru melihat kesempatan untuk menjadi pelopor dalam bidang keberlanjutan.
Dengan mempromosikan produk ramah lingkungan dan memprioritaskan energi terbarukan serta pelestarian hutan, Indonesia menarik investor yang peduli lingkungan.
Komitmen ini diharapkan menjadikan Indonesia lebih unggul dalam aspek keberlanjutan, sekaligus menarik minat dunia terhadap produk-produk yang dihasilkan secara berkelanjutan.
Maka, terpilihnya Donald Trump memang menimbulkan beragam tantangan bagi Indonesia, terutama terkait proteksionisme dan tekanan di sektor perdagangan.
Namun, dari tantangan ini muncul peluang besar bagi Indonesia untuk beradaptasi, memperkuat kemandirian ekonomi, dan meningkatkan daya saing global.
Melalui kebijakan peningkatan kualitas produk, perluasan kerja sama regional, pembangunan infrastruktur, dan pemberdayaan UKM, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemain ekonomi yang lebih tangguh dan inklusif.
Menyangkut hal ini, Arvind Subramanian, Mantan Kepala Penasihat Ekonomi India, juga menyarankan agar negara berkembang berinvestasi dalam sektor-sektor yang dapat mengurangi ketergantungan mereka pada pasar AS, seperti teknologi, energi terbarukan, dan manufaktur yang lebih berkelanjutan.
Ia juga merekomendasikan agar ditingkatkan hubungan perdagangan antara negara-negara berkembang untuk menciptakan rantai pasok yang lebih memiliki ketahanan terhadap kebijakan proteksionisme AS.
Secara umum, beberapa langkah yang penting untuk segera dilakukan oleh Indonesia di antaranya memperkuat pasar domestik dan regional, meningkatkan diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada pasar AS, dan fokus pada peningkatan kualitas dan nilai tambah produk.
Selain juga mendorong reformasi di organisasi perdagangan internasional untuk menciptakan aturan yang lebih adil bagi negara berkembang.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk membantu negara berkembang khususnya Indonesia agar mampu menghadapi ketidakpastian dalam perdagangan internasional akibat kebijakan proteksionisme AS sekaligus untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
Baca juga: Iran: Hasil pilpres AS 2024 tidak penting
Baca juga: Trump menang di Pilpres AS, Israel bakal dapat dukungan lebih besar