Rio Dewanto harapkan asosiasi film Indonesia punya tujuan jelas

id Rio Dewanto

Rio Dewanto harapkan asosiasi film Indonesia punya tujuan jelas

Aktor Rio Dewanto (ANTARA News/Lia Wanadriani Santosa)

Mataram (ANTARA) - Aktor film nasional Rio Dewanto mengharapkan asosiasi-asosiasi film di Indonesia punya satu tujuan yang jelas, bahkan menyatu dan memperjuangkan kesejahteraan para pelaku film sebagai bentuk peringatan Hari Film Nasional pada 30 Maret.

"Gue bukan tipe orang berorganisasi ya, tapi gue ngeliat kayak asosiasinya tuh kok terlalu banyak ya. Apakah itu sehat atau enggak, tapi apakah tidak lebih baik kalau asosiasi itu menjadi satu," kata Aktor Rio Dewanto kepada Antara di Jakarta, Jumat (29/3).

Rio mengatakan asosiasi-asosiasi film di Indonesia seperti Rumah Aktor Indonesia (RAI), Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), dan Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) seolah-olah membuat perfilman di Indonesia memiliki tujuan yang berbeda-beda.

"Nah, kalau jadi satu kan akan lebih kuat untuk menyuarakan apa yang menjadi keluhan maksudnya apa yang pengen kita perjuangkan gitu," ujar Rio.

Aktor berusia 31 tahun itu mengatakan kehadiran asosiasi film dengan tujuan yang lebih jelas akan memperbaiki kesejahteraan para pelaku film dan bukan hanya aktor, termasuk para pendukung film dan mereka yang akan masuk dunia seni peran.

Pendapat serupa juga disampaikan salah satu penata musik dalam industri film yaitu Charlie Meliala. Charlie menyatakan asosiasi dalam bidang perfilman Tanah Air sudah banyak tapi sistem regulasinya tidak terlihat.

"Kalau Hollywood itu kan udah jadi industri ya jadi asosiasinya jelas, terus campur tangan asosiasi ke regulasinya juga jelas dengan begitu kan sistem kerjanya akan bener," kata Charlie.

Masalah distribusi

Penata musik dalam film "Kartini" itu mengatakan masalah terbesar dalam perfilman Indonesia adalah distribusi.

"Kalau di Indonesia outlet distribusi film itu mereka enggak cuman distribusi, tapi juga importir film. Kalau di negara lain, itu enggak boleh," ujar Charlie.

Charlie menambahkan persoalan distribusi film sudah dikeluhkan sejak era 1970-an karena outlet distribusi film akan mendapatkan keuntungan lebih. Keuntungan itu diperoleh karena film asing yang masuk ke Indonesia lebih banyak.

Padahal, celah bagi film Indonesia untuk tayang di negeri sendiri, lanjut Charlie, lebih sulit menyusul kehadiran film-film impor itu.

"Ketika mereka memutar film Indonesia, mereka kena potongan tuh. Tapi kalau untuk film barat, mereka bisa dapet seratus persen karena yang impor dan distributornya mereka sendiri," kata Charlie.