Jakarta (ANTARA) - Pengamat politik Boni Hargens menilai mekanisme penunjukan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) saat ini yang melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan bagian dari sistem checks and balances atau pengawasan dan keseimbangan dalam demokrasi Indonesia.
Menurut dia, proses tersebut dirancang untuk memastikan akuntabilitas dan representasi kepentingan rakyat dalam penentuan pimpinan lembaga penegak hukum yang strategis.
"Demokrasi selalu meletakkan suara rakyat sebagai kunci dalam pertimbangan dan pembuatan kebijakan publik. Dalam konteks ini, DPR adalah perwakilan rakyat yang tak bisa dilangkahi dalam penentuan Kapolri," kata Boni dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Baca juga: Kapolri jadi Ketua Dewan Penasihat KSPSI
Dirinya mengingatkan penunjukan langsung oleh eksekutif tanpa melibatkan legislatif berpotensi menciptakan konsentrasi kekuasaan yang berbahaya dan mengurangi mekanisme pengawasan demokratis.
Boni pun membeberkan empat kelemahan fundamental usulan penunjukan langsung Kapolri. Pertama, melanggar prinsip checks and balances karena penunjukan langsung Kapolri oleh Presiden menghilangkan peran pengawasan legislatif, sehingga menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif tanpa kontrol yang memadai dari cabang kekuasaan lain.
Kedua, lanjut dia, usulan tersebut mengabaikan representasi rakyat di mana DPR merupakan lembaga yang dipilih langsung oleh rakyat untuk mewakili kepentingan mereka.
Dengan demikian, dia menyebutkan peniadaan peran DPR berarti mengabaikan hak rakyat dalam menentukan pimpinan institusi publik yang akan melayani mereka.
Kelemahan ketiga, yakni membuka cela potensi politisasi lebih besar. Menurutnya, penunjukan langsung justru dapat menciptakan ketergantungan Kapolri yang lebih besar kepada Presiden, sehingga berpotensi menjadikan kepolisian sebagai alat politik eksekutif tanpa mekanisme pengawasan eksternal.
Ia menambahkan, keempat, usulan tersebut mengurangi transparansi dan akuntabilitas. Proses uji kelayakan dan kepatutan alias fit and proper test di DPR memberikan ruang publik untuk menilai kualifikasi, integritas, dan visi calon Kapolri.
Baca juga: Menhut soroti faktor efek jera dari penegakan hukum
"Penunjukan langsung menghilangkan transparansi ini dan mengurangi akuntabilitas publik," ungkap Direktur Eksekutif Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) tersebut.
Dengan demikian, dirinya berpendapat mekanisme penunjukan Kapolri merupakan masalah teknis-prosedural yang sudah diatur dalam kerangka konstitusional, sehingga mengubahnya memerlukan perdebatan konstitusional yang lebih luas.
Usulan kontroversial itu, sambung Boni, justru mengalihkan perhatian dari agenda reformasi substantif yang lebih mendesak, seperti penguatan integritas, profesionalisme, pemberantasan korupsi internal, dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Selain menyimpang dari mandat reformasi, kata dia, usulan penunjukan langsung Kapolri justru memunculkan pertanyaan publik soal waktu dan pihak yang diuntungkan dengan usulan tersebut.
Karena itu, dia mendorong agar Komisi Percepatan Reformasi Polri fokus pada agenda reformasi Polri meliputi transformasi budaya organisasi, penguatan integritas dan antikorupsi, peningkatan profesionalisme, perbaikan hubungan dengan masyarakat, reformasi sistem hukum internal, serta sistem evaluasi kinerja yang objektif.
Adapun belakangan, usulan calon Kapolri tidak perlu diseleksi oleh DPR sempat mengemuka. Salah satunya datang dari Kapolri periode 2001-2005 Jenderal Pol (Purn) Da’i Bachtiar menyampaikan mekanisme pemilihan Kapolri perlu dikaji kembali, khususnya terkait keterlibatan DPR dalam proses persetujuan.
Ia menyebut saat ini presiden memiliki hak prerogatif dalam mengajukan calon Kapolri, yang kemudian dibawa ke DPR. Namun menurutnya, hal tersebut perlu dipertimbangkan kembali agar tidak perlu lagi dibawa ke forum politik.
"Presiden harus mengirimkan ke DPR untuk minta persetujuan. Nah, ini juga jadi pertanyaan. Apakah masih perlu aturan itu? Tidakkah sepenuhnya kewenangan prerogatif dari seorang presiden memilih calon Kapolri dari persyaratan yang dipenuhi dari Polri itu sendiri? Tidak perlu membawa kepada forum politik gitu, melalui DPR," ujar Da'i Bachtiar usai melakukan pertemuan dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri di Gedung Kemensetneg, Jakarta, Rabu (10/12).
Da'i Bachtiar menjelaskan keterlibatan DPR dinilai akan menimbulkan beban bagi Kapolri terpilih, salah satunya adalah potensi berbagai balas jasa politik. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mengganggu independensi kepolisian.
Ia juga menekankan bahwa pandangan ini bukan satu-satunya masukan yang akan dipertimbangkan. Menurutnya, keputusan untuk evaluasi pemilihan Kapolri, tetap berada di bawah komisi terkait.
