Indonesia membagi langkah perangi kejahatan perikananan di Wina

id pencurian ikan

Indonesia membagi langkah perangi kejahatan perikananan di Wina

Tim Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan Secara Ilegal (Satgas) 115 menenggelamkan tiga kapal ikan asing di Perairan Belawan, Medan, Sumatera Utara, Sabtu (11/5/2019). Tim Satgas 115 menenggelamkan tiga kapal asing berbendera Malaysia, Myanmar dan Thailand yang terbukti melakukan pencurian ikan (Ilegal Fishing) di wilayah perairan Indonesia sebagai salah satu upaya membuat efek jera kepada para pelaku. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/wsj.

Mataram (ANTARA) -  Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia berkomitmen teguh untuk memerangi kejahatan perikanan terorganisasi internasional karena tidak hanya berdampak pada lingkungan, namun juga mengancam keamanan dan perekonomian negara.

Demikian pandangan yang disampaikan Wakil Tetap Indonesia untuk PBB, Duta Besar Dr Darmansjah Djumala, selaku pembicara pada MIKTA Experiences Addressing Fisheries Crimes and Wildlife Trafficking, di sela-sela pertemuan Sesi ke-28 Commission on Crime Prevention and Criminal Justice di Markas PBB Wina, Austria (20/5).

Menurut keterangan dari Kedutaan Besar Indonesia di Wina, Senin, pada kesempatan itu, Djumala menyampaikan pengalaman Indonesia dalam memerangi kejahatan perikanan.

Studi FAO menunjukkan sekitar 93 persen stok ikan dunia tereksploitasi. Dengan ditekannya kejahatan pencurian perikanan maka tingkat ekploitasi ikan di Indonesia menurun, sehingga stok ikan nasional meningkat dan mendorong ekpor lebih banyak. 

"Hal ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan visi nasional menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia," ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan, kejahatan perikanan berkembang menjadi kejahatan transnasional yang sangat serius dan terorganisir.

Banyak pihak yang melakukan kejahatan pencurian ikan terlibat dalam aktifitas kejahatan transnasional terorganisir lain, seperti pencucian uang, suap, penyelundupan narkoba, penyelundupan senjata, perdagangan orang, kerja paksa, kejahatan perpajakan, penyelundupan barang, dan sebagainya.

"Memerangi kejahatan transnasional yang terorganisasir tentu tidak dapat dilakukan satu negara saja dan perlu dilaksanakan melalui kerja sama internasional," ujarnya.

Selain Djumala, pada kesempatan itu juga menghadirkan para duta besar negara-negara MIKTA di Wina, yaitu Hermann Aschentrupp (Meksiko), Dong-ik Shin (Korea Selatan), Ahmet Muhtar Gun (Turki), dan Brendon Charles Hammer (Australia), sebagai pembicara untuk berbagi pengalaman terkait upaya memerangi kejahatan perikanan di masing-masing negara.

Bb Kegiatan ini mendapatkan perhatian khusus dari UNODC yang menghadirkan Jenna Dawson-Faber (Sustainable Livelihoods Unit UNODC) sebagai moderator pertemuan.

MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia) merupakan kelompok kemitraan yang digagas pada 2013 di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, bertujuan memperjuangkan kepentingan bersama dalam memperkuat multilateralisme, mendukung struktur pemerintahan global yang efektif, serta memberikan dukungan terhadap stabilitas dan kesejahteraan global. Keketuaan MIKTA pada 2019 dipegang Meksiko.