Segmen megathrust Nias Simeulue miliki magnitudo tertarget 8,7

id gempa bumi,BMKG,gempa simeulue,tsunami Aceh,megathrust Nias-Simeulue

Segmen megathrust Nias Simeulue miliki magnitudo tertarget 8,7

Foto udara hamparan rumah penduduk, pusat pemerintahan, dan pusat perkotaan dikelilingi laut perairan Selat Malaka, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (28/8/2019). Kota Lhokseumawe satu dari tiga daerah meliputi Pulau Simeulue, Pantai Barat Aceh yang menjorok kelaut Selat Malaka, hanya diapit jalur jembatan masuk dan keluar dan tidak tersedia jalur evakuasi maupun peralatan pendeteksi dini bencana seperti sirine sistem peringatan dini jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam yang menurut para ahli kegempaan dan tsunami di Indonesia wilayah Aceh berada di zona subdiksi (Megathrust) satu dari 5 wilayah di Indonesia yang masih terus berpotensi diterjang tsunami, pasca gempa dasyat dan tsunami Aceh 2004. ANTARA FOTO/Rahmad. (ANTARA FOTO/RAHMAD)

Jakarta (ANTARA) - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)  menyatakan wilayah selatan Simeulue Provinsi Aceh termasuk dalam segmen Megathrust Nias-Simeulue, yang merupakan segmen aktif yang memiliki magnitudo tertarget 8,7.

"Artinya potensi untuk terjadi gempa kuat memang sangat besar di wilayah ini," kata Kepala bidang Mitigasi Gempa bumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan dari catatan BMKG gempa kuat yang bersumber dari zona megathrust segmen ini sudah terjadi beberapa kali, yaitu gempa Simeulue 4 Januari 1907 bermagnitudo 7,6 yang memicu tsunami dan menelan korban jiwa lebih 400 orang meninggal dunia.

Gempa Simeulue pada 2 November 2002 dengan magnitudo 7,2 mengakibatkan puluhan orang luka-luka. Sementara gempa pada 20 Februari 2008 dengan magnitudo 7,3 menimbulkan kerusakan dan menelan korban jiwa empat orang meninggal dunia.

Daryono menjelaskan episenter gempa bumi Simeulue bermagnitudo 6,1 yang terjadi pada Selasa (7/1) berada di lokasi yang hampir sama dengan gempa bumi magnitudo 7,6 pada 1907 yang memicu tsunami besar saat itu.

Ia mengemukakan bahwa tsunami pada 1907 melahirkan istilah lokal "smong" (tsunami) yang menjadi kearifan lokal setempat yang menyelamatkan masyarakat Simeulue dari tsunami 2004.

"Konsep evakuasi mandiri dari 'smong' ini terbukti sangat efektif untuk menyelamatkan diri dari bahaya tsunami," katanya.

Hasil monitoring aktivitas gempa bumi yang dilakukan BMKG selama 2019, kata dia, menunjukkan adanya peningkatan aktivitas gempa bumi di zona Nias-Simeulue, hingga terjadinya gempa kuat magnitudo 6,1  pada Selasa (7/1).

Hingga Rabu (8/1) pukul 09.00 WIB, hasil monitoring BMKG mencatat telah terjadi gempa susulan sebanyak 15 kali kejadian di Pulau Simeulue. Adapun magnitudo gempa susulan yang terbesar mencapai 4,2 dan yang terkecil 2,6.

Peta guncangan BMKG yang dipublikasikan beberapa saat setelah terjadi gempa bumi Simeulue mampu mengestimasi tingkat goncangannya. Untuk wilayah Simeulue bagian selatan berpotensi mencapai skala intensitas V-VI MMI, sehingga diperkirakan dapat terjadi kerusakan.

Setidaknya ada delapan kantor pemerintahan dan beberapa rumah warga di Kabupaten Simeulue mengalami kerusakan ringan akibat guncangan gempa.

Peristiwa gempa bumi dan tsunami adalah keniscayaan di Indonesia. Dengan mengetahui bahwa wilayah kita dekat di zona megathrust, tidak perlu menimbulkan kecemasan dan ketakutan," tambah dia.

Semua informasi terkait gempa dan tsunami harus direspons dengan langkah nyata dengan memperkuat upaya mitigasi bencana.

Dengan meminimalkan dampak, sehingga masyarakat tetap dapat hidup dengan selamat, aman dan nyaman meskipun di daerah rawan bencana.

"Tetapi yang paling penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakat. Selain itu, bagaimana menyiapkan infrastruktur menghadapi gempa dan tsunami," demikian Daryono.