Laksamana Pertama TNI Imam Musani, S.E., M.Si.: Tak pernah terbayang jadi prajurit Angkatan Laut

id KSAL,TNI AL

Laksamana Pertama TNI Imam Musani, S.E., M.Si.: Tak pernah terbayang jadi prajurit Angkatan Laut

Wadan Seskoal Laksamana Pertama TNI Imam Musani, S.E., M.Si.

Mataram (ANTARA) - Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, S.I.P pada 8 Mei 2020 memimpin Laporan Korps Kenaikan Pangkat  25 Perwira Tinggi TNI, termasuk Laksamana Pertama TNI Imam Musani, S.E., M.Si di Aula Gatot Soebroto Mabes TNI Cilangkap Jakarta Timur.
       
Wakil Komandan Sekolah Staf dan Komando TNI Angkatan Laut (Wadan Seskoal) Kolonel Laut (P) Imam Musani ketika itu dinaikkan pangkatnya satu tingkat lebih tinggi menjadi Laksamana Pertama TNI. 
       
Imam Musani merupakan alumni Akademi TNI Angkatan Laut (AAL) Angkatan ke-36 Tahun 1990 yang resmi menjabat Wadan Seskoal pada 06 April 2020. Sebelumnya, Perwira Tinggi TNI AL itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan (Dirdik) Seskoal.
       
Pada suatu perbincangan di kantornya, kompleks Seskoal yang asri di kawasan Cipulir Kebayoran Lama Jakarta Selatan pada 9 Juni 2020, Imam menceritakan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan, dari seorang anak petani yang hidupnya pas-pasan hingga menjadi Perwira Tinggi TNI AL. 
       
Dalam perjalanan kariernya di TNI AL, Imam tercatat telah menjalani pendidikan dari Akademi TNI Angkatan Laut (AAL) hingga Sekolah Staf dan Komando (Sesko) TNI dan Program Pendidikan Regular Angkatan 58 Lemhannas RI.
       
Selain itu ia pernah mengikuti sejumlah kursus, antara lain Trainer of Trainer (TOT) Hukum Humaniter hingga Maritime Air Surveilance Course di Australia, Instructor Training Course TB-10 di Perancis dan Civil Miltary Approaches to Maritime Security di Monterey Amerika.
       
Pria yang beristrikan Anik Wahyuningsih dan memiliki satu putera dan satu puteri (Farhan Aprial Ekasani dan Shaula Paramatha Sani) itu juga mengantongi  lima brevet, yakni brevet penerbang, instruktur penerbang, scuba diver, kapal atas air, dan brevet inspektor kelaikan udara.
       
Ia juga pernah mendapatkan penugasan operasi, yakni Operasi Hadar di Selat Timor, Operasi Pemulihan Keamanan di Provinsi Maluku, Operasi Jajak Pendapat Timtim di Kupang dan Timor Timur (sekarang Timor Leste), dan Operasi SAR di Kupang, Mejene, Laut Jawa, Selat Malaka, Selat Lombok, dan Perairan Sabang.
       
Sebagai bukti atas kompetensi dan profesionalismenya di lingkungan TNI, Imam Musani telah mendapatkan tanda jasa dari Presiden, Kasal, dan Manhankam (12 tanda jasa) serta telah mendapatkan penugasan luar negeri, yakni ke Australia, Perancis, India, Singapura, China, Jepang, dan Amerika. 
 
Saat presentasi di US National Defense University, 2017.

Perjuangan masa kecil

Imam Musani yang biasa dipanggil “Soni” terlahir dari keluarga petani yang pas pasan dalam kehidupan sehari-harinya pada 9 Desember 1967 di Dusun Pandean, Kelurahan Surodakan, Kecamatan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur.
       
Rumah orangtuanya berdampingan dengan area makam Ki Ageng Menak Sopal yang pada masa hidupnya dikenal sebagai pemuka agama Islam serta pahlawan bagi para petani Trenggalek karena banyak berjasa mengubah wilayah Trenggalek yang dulunya merupakan rawa menjadi lahan pertanian yang subur.
       
Soni sendiri adalah anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan suami-istri Mudasam dan Siti Halimah yang bertempat tinggal di sebuah rumah berdinding “gedheg” (anyaman bambu) dan berlantaikan tanah. 
       
Sejak sebelum sekolah Soni sudah menghadapi perjuangan yang berat untuk bertahan hidup. Thiwul, gamblong dan bulgur adalah makanan pokok sehari-hari yang telah membesarkannya. 
       
Masa SD diselesaikannya di Sekolah Dasar Negeri Bagong (sekarang SDN Ngantru III). Pergi ke sekolah sehari hari tanpa alas kaki hingga kelas 5 SD. Baru ketika menginjak kelas 6 Soni kecil memakai sepatu yang pertama kalinya untuk pergi ke sekolah. 
      
Di sela waktu sekolah, banyak pekerjaan yang dijalaninya, mulai dari “ngarit” (mencari rumput) untuk pakan kambing, mencetak batu bata, mencari pasir dan batu di kali Bagong untuk membangun rumah, berjualan kue-kue dan es drop, menyangkul di sawah, dan menanam padi hingga memanennya. 
       
Jika musim panen padi, Soni juga membantu orangtua mengangkut gabah 1,5 kuintal sekali angkut dengan menggunakan sepeda pancal milik bapaknya, di mana  saat itu untuk menggenjot pedal sepeda saja dia menghadapi kesulitan.
       
Tahun 1981 Soni berhasil masuk ke SMPN I Trenggalek. Ketika harus menggunakan seragam, orangtuanya hanya mampu membeli bahan kainnya saja, dan tidak punya uang untuk ongkos menjahitnya. 
       
Soni kemudian “memutar otak”, bagaimana caranya mengubah kain tadi menjadi seragam sekolah. Dengan berbekal majalah bekas, ia mempelajari bagaimana cara membuat pola baju dan celana, lalu menjahitnya sendiri. 
       
Seragam sekolah itu kemudian dapat digunakan selama sekolah di SMPN I hingga lulus. Pada saat itu uang SPP yang harus dibayar tiap bulannya sebesar Rp. 750,- dan untuk mendapatkan uang sebesar itu ibunya harus menjual kelapa sebanyak 150 buah (harga kelapa Rp 5,- per buah). 
       
Jika hasil kelapa dari pekarangannya masih kurang, maka Soni siap menjalani pekerjaan sebagai buruh memetik buah kelapa dengan upah sebanyak satu butir kelapa per pohon, dan dalam sehari mampu memanjat 15 pohon kelapa. 
       
Dengan kondisi yang demikian memprihatinkan, Soni memiliki ide menghadap Kepala Desa Surodakan untuk meminta “Surat Keterangan Ekonomi Lemah”. Berbekal surat tersebut lalu Soni menghadap Kepala Sekolah SMPN I Trenggalek saat itu, dan akhirnya ia dibebaskan membayar uang SPP hingga lulus sekolah. 
       
Kemudian tahun 1983 Soni berhasil masuk ke SMA Negeri I Trenggalek. Ujian dari Allah kembali datang padanya. Sebulan sebelum Ebtanas mata kanannya mengalami luka pada korneanya dan terjadi infeksi yang mengakibatkan kebutaan. 
       
Namun kemudian Allah menunjukkan sifat rahman dan rahimNya. Dengan meneteskan getah rumput “patikan” sebanyak tiga kali sehari, mata kanannya kembali normal. Ia menyatakan sangat bersyukur atas kesembuhan matanya itu.
       
Pada saat akhir kelas 3 SMA, sekolahnya mengadakan study tour ke Jogyakarta. Kembali Soni tidak dapat ikut karena orang tuanya tidak bisa membayar biaya untuk kegiatan itu sebesar Rp. 26.000,- 
       
Satu kalimat almarhumah Ibunya yang diingatnya sampai sekarang menyebutkan, “Le….awakmu sing sabar yo… saiki awakmu isih dadi enthung. Mengko yen wis dadi kupu-kupu, arep mabur menyang ngendi wae bakal kelakon”. (Nak, kamu yang sabar ya…sekarang kamu masih jadi kepompong. Nanti kalau kamu sudah jadi kupu-kupu, mau pergi kemana pun bakal kesampaian).
Wadan Seskoal Laksamana Pertama TNI Imam Musani (tengah) bersama penulis Aat Surya Safaat (paling kiri) dan team. (Foto: Istimewa)


Bisa masuk Akabri

Berawal dari ajakan teman temannya di SMA untuk ikut mendaftar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri), Soni hanya ikut ikutan saja, karena apa yang dimaksud Akabri pun dia belum paham.
        
Namun karena secara fisik dan mental sudah tertempa sejak kecil dalam kehidupan sehari-hari yang sangat keras, Soni dapat melewati test Akabri dengan lancar dan tidak menemukan hambatan yang berarti. Disamping mendaftar untuk mengikuti seleksi Akabri, Soni juga mengikuti test Seleksi dan Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru). 
       
Saat seleksi test Akabri (pada tahap wawancara mental ideologi), ia terpaksa meminjam sepatu temannya karena sepatunya sudah jebol. Allah memberikan anugerah yang sangat besar karena dua-duanya diterima, dan ia kemudian memilih  Akabri Laut.
       
Tahun 1990 Soni lulus dari Akabri Laut sebagai Perwira Pelaut dan berdinas di Satuan Kapal Patroli Armada Kawasan Barat sebagai Kepala Departemen Operasi, dan pada akhir 1992 mendapat Surat Perintah untuk mengikuti Pendidikan Pasukan Katak TNI AL. 
       
Namun ternyata namanya juga tercantum di dalam daftar calon Penerbang TNI AL, dan atas arahan Kepala Dinas Pendidikan TNI AL, Penerbang akhirya menjadi pilihan pendidikan yang dijalaninya. 
       
Pada 1994 Soni lulus dari Sekolah Penerbang TNI AL dan berdinas di Skuadron Udara-600 Satuan Udara Armada Timur. Sejak saat itu ia melanglang buana ke seluruh pelosok wilayah Indonesia dan luar negeri dengan pesawat udara TNI AL.
       
Selain itu, berbagai jenis pesawat udara TNI AL telah diterbangkannya, mulai dari pesawat Tampico TB 9-C, Tobago TB-10, Bonanza F-33A, Nomad N-22/24, Casa NC-121, hingga Buffalo DHC-5D. 
       
Ia juga menyatakan bangga dan bersyukur telah mendapatkan kepercayaan mengikuti pendidikan/kursus terkait profesinya di beberapa negara maju, yakni di Perancis, Amerika Serikat, dan Australia.
     
“Sebagai anak petani yang hidupnya pas-pasan, tidak pernah terbayang saya bisa menjadi prajurit Angkatan Laut,” kata putera Trenggalek yang kini mendapatkan amanah sebagai Wadan Seskoal itu.

*Biografi Laksamana Pertama TNI Imam Musani ini ditulis oleh wartawan senior Aat Surya Safaat yang dalam perjalanan kariernya sebagai jurnalis pernah menjadi Kepala Biro Kantor Berita ANTARA di New York (1993-1998) dan Direktur Pemberitaan ANTARA (2016-2017).