Mataram, 11/2 (ANTARA) - Polda Nusa Tenggara Barat meningkatkan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah yang sebagian besar masih mendiami lokasi pengungsian di asrama Transito Kota Mataram, agar terhindar dari kemungkinan diserang warga yang tidak menyukai keberadaan mereka.
"Peningkatan pengamanan itu tidak harus dengan penempatan personil di dekat lokasi pengungsian Ahmadiyah, bisa juga dengan patroli rutin yang lebih sering," kata Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) Brigjen Polisi Arif Wachyunadi, di Mataram, Jumat.
Wachyunadi mengakui, adanya instruksi peningkatan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah dimana pun berada yang dikeluarkan Kapolri, pascapenyerangan terhadap warga Ahmadiyah di Desa Umbulan Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, 6 Februari lalu.
Namun, ia menegaskan bahwa ada atau tidaknya instruksi peningkatan pengamanan warga Ahmadiyah, pihaknya berkewajiban untuk selalu memantau dan mengawasi aktivitas komunitas Ahmadiyah.
"Ada atau tidak instruksi itu, kami pun sudah lakukan koordinasi dengan warga Ahmadiyah yang masih mendiami lokasi pengungsian di Mataram, dan meningkatkan pengamanannya," ujarnya.
Sejauh ini, kata Wachyunadi, pihaknya melakukan pengamanan terhadap warga Ahmadiyah dengan beberapa pola pengamanan, seperti penempatan petugas di sekitar lokasi pengungsina, patroli rutin dan koordinasi internal dengan warga Ahmadiyah.
"Khusus koordinasi internal, kami terus mengimbau agar warga Ahmadiyah menjalani kehidupan wajar atau tidak menampakan aksi-aksi yang menyolok, apalagi soal keagamaan. Kami terus beri pemahaman kepada mereka," ujarnya.
Sebelumnya, Mubaligh Ahmadiyah Wilayah Nusra (NTB dan NTT) Nasiruddin Ahmadi, yang ditemui di lokasi pengungsian Asrama Transito Mataram, mengakui adanya kekhawatiran terhadap kemungkinan aksi penyerangan seperti yang mereka alami di masa lalu.
Warga Ahmadiyah di pengungsian Mataram, itu mengaku hidup dalam kekhawatiran yang berkepanjangan, sehingga selalu siaga dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
"Sebagai manusia tentu kami terus merasa khawatir kalau-kalau ada penyerangan, namun kami mencoba menyiasatinya dengan sikap siaga dan tawakal," ujar Nasiruddin yang didampingi ratusan warga Ahmadiyah lainnya.
Kekhawatiran itu dilatarbelakangi oleh enam peristiwa penyerangan yang melanda warga Ahmadiyah di Pulau Lombok dalam lima tahun terakhir ini.
Kasus terakhir 26 Nopember 2010, menjelang Magrib, ratusan warga menyerang dan merusakkan rumah warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, NTB, yang sudah ditinggal pemiliknya karena mengungsi ke Asrama Transito Mataram.
Bahkan, aksi perusakan rumah warga Ahmadiyah oleh seratusan warga dari Dusun Ketapang, Desa Gegerung itu bukan hanya melibatkan kaum laki-laki, tetapi juga perempuan dan anak-anak.
Warga melempari baru hingga memecahkan kaca jendela, genteng rumah, dan sebagian warga menghancurkan tembok menggunakan linggis.
Warga Ahmadiyah yang rumahnya diserang itu merupakan bagian dari 36 kepala keluarga (KK) atau 138 jiwa warga Ahmadiyah mendiami asrama Transito Mataram setelah rumah mereka di Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, dirusak dan dibakar massa, pada 4 Pebruari 2006.
Secara keseluruhan warga Ahmadiyah di Pulau Lombok, NTB, diperkirakan lebih dari 180 orang. Sebanyak 36 Kepala Keluarga (KK) atau 138 jiwa diantaranya berada di Mataram, ibukota Provinsi NTB dan 42 jiwa lainnya berada di Kabupaten Lombok Tengah.
Untuk mengatasi kekhawatiran itu, kata Nasiruddin, mereka gencar melakukan Gerakan Mawas Diri (GMD) dan Pencucian Hati (PH) dalam kehidupan sehari-hari.
GMD-PH itu merupakan gerakan penguatan mental sekaligus disposisi batin agar tetap hidup damai sampai warga lokal di tempat kediaman mereka di Lombok Barat dan kabupaten lainnya mau menerima keberadaan mereka.
"Kami perbanyak salat, salawat dan ibadah lainnya, karena kami yakin dengan berdoa dan meningkatkan ketaqwaan, segala sesuatu akan dapat dijalani dengan aman dan damai," ujarnya. (*)