Jakarta (ANTARA) - Para ilmuwan telah mampu menunjukkan cara sebuah protein memicu gangguan spektrum Autistik dengan cara menghentikan komunikasi efektif antara sel otak.
Seperti dikutip dari BBC, tim dari Universitas Duke di Carolina Utara menciptakan tikus autistik dengan jalan memutasikan gen yang mengendalikan produksi dari protein, Shank3.
Binatang itu menunjukkan tanda-tanda masalah sosial dan perilaku yang berulang - keduanya adalah tanda klasik autisme dan kondisi itu berhubungan.
Penelitian alami itu meningkatkan harapan atas obat-obatan yang efektif.
Autisme adalah kelainan yang, pada derajat berbeda-beda, mempengaruhi kemampuan anak dan orang dewasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara sosial.
Ratusan gen telah ditemukan terkait dengan kondisi autis, tapi kombinasi tepat dari genetika, biokimia dan faktor lingkungan lainnya yang menyebabkan austisme masih belum jelas.
Masing masing pasien hanya memiliki satu atau sedikit mutasi itu sehingga sulit untuk mengembangkan obat guna mengobati gangguan itu.
Shank3 ditemukan di sinapsis - persimpangan antara sel otak (neuron) yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi satu dengan yang lain.
Para peneliti menciptakan tikus yang telah mengalami mutasi akibat Shank3, dan mendapati bahwa binatang itu menolak interaksi sosial dengan tikus lainnya. Mereka juga melakukan pengulangan dan tampil dengan perilaku yang merugikan diri.
Sirkuit Otak.
Tim MIT yang menganalisa otak binatang itu menemukan kerusakan di sirkuit yang menghubungkan dua wilayah di otak yaitu cortex dan striatum.
Hubungan kesehatan antara wilayah wilayah itu diperkirakan menjadi kunci untuk regulasi efektif dari perilaku sosial dan interaksi sosial.
Para peneliti mengatakan karya mereka meneguhkan peranan penting Shank3 dalam pembangunan sirkuit di otak yang mendasari semua perilaku kita.
Pimpinan peneliti Dr Grouping Feng mengatakan "penelitian kami mendemonstrasikan bahwa mutasi Shank3 di tikus memicu kerusakan di neuron-neuron komunikasi."
"Temuan ini dan model tikus tersebut kini memungkinkan kita untuk mencari tahu secara tepat sirkuit syaraf rusak yang bertanggung jawab atas perilaku abnormal ini, yang dapat mengarah pada strategi-strategi baru dan target untuk mengembangkan pengobatan."
Kemungkinan hanya dalam persentase kecil pengidap autisme yang memiliki mutasi dalam Shark3. tetapi Dr Feng mempercayai banyak kasus lain yang mungkin berhubungan dengan gangguan kepada protein lain pengendali fungsi sinaptik.
Carol povey, direktur dari the National Autistic Society's Centre for Autism mengatakan penelitian binatang dapat membantu lebih jauh pemahaman atau peran dari genetika dan pengaruhnya terhadap perilaku, tapi, hal itu hanya gambaran kecil dalam memahami autisme.
"Otak manusia jauh lebih kompleks ketimbang mamalia lainnya, dan banyak faktor bertanggung jawab atas berkembangnya kondisi itu." (*)