Jaksa ajukan kasasi perkara korupsi proyek relokasi banjir Bima

id kasasi korupsi,jaksa kasasi,pengadilan mataram,korupsi relokasi banjir,kejati ntb

Jaksa ajukan kasasi perkara korupsi proyek relokasi banjir Bima

Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan. (ANTARA/Dhimas B.P.)

Mataram (ANTARA) - Jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum kasasi terkait vonis banding dua terdakwa korupsi dalam proyek pengadaan lahan untuk relokasi korban banjir di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat.

Juru Bicara Kejati NTB Dedi Irawan di Mataram, Kamis, mengatakan, dasar JPU mengajukan upaya hukum lanjutan karena melihat hukuman pidana penjara dan kerugian negara yang muncul dalam putusan banding-nya lebih rendah dari putusan pengadilan tingkat pertama.

"Selain itu, pertimbangan hukuman dalam putusan banding-nya juga berubah. Makanya, tim JPU mengajukan upaya hukum lanjutan ke Mahkamah Agung," kata Dedi.

Dalam berkas memori kasasi dan kontra memori kasasinya, Dedi menjelaskan bahwa JPU tetap mengacu pada materi tuntutan, salah satunya berkaitan dengan angka kerugian negara senilai Rp1,638 miliar.

Menurut ahli penghitung kerugian negara, angka tersebut berasal dari harga pengganti lahan seluas 4,29 hektare yang perarenya dibayar pemerintah Rp11,5 juta sesuai dengan hasil analisa dari tim appraisal.

Dalam persoalan itu, Hamdan tidak menjalankan petunjuk pelaksanaan dalam proses pembayaran pengadaan yang berada di di Kelurahan Sambinae, Kecamatan Mpunda, Kota Bima.

Bahkan dalam rapat sosialisasi pengadaan lahan itu, yang hadir hanya Usman sebagai penerima kuasa dan mewakili sepuluh pemilik lahan. Dari pertemuan itu, Usman tidak menyerahkan uang pengganti secara utuh kepada pemilik lahan dengan alasan sisa pembayaran dipakai untuk biaya meratakan tanah.

"Pada intinya penuntut umum tetap berkeyakinan sesuai dengan yang sudah diajukan dalam berkas penuntutan sebelumnya," ucap dia.

Dalam putusan banding, dua terdakwa yakni Hamdan, Mantan Kadis Permukiman Kota Bima dan Usman yang berperan sebagai makelar sekaligus salah seorang pemilik lahan yang dibayarkan pemerintah, dinyatakan terbukti bersalah dalam Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.

Penetapan tersebut, berbeda dengan keputusan pengadilan tingkat pertama, yakni kedua terdakwa divonis dengan Pasal 2 Undang-Undang Tipikor.

Dengan adanya perbedaan delik tersebut, kedua terdakwa juga mendapat vonis hukuman yang lebih rendah dibandingkan dengan putusan pada pengadilan tingkat pertama.

Untuk Hamdan, vonisnya jadi dua tahun penjara dari sebelumnya empat tahun enam bulan. Selain itu, pidana denda  juga berkurang menjadi Rp50 juta subsider satu bulan kurungan. Pada pengadilan tingkat pertama, Hamdan dikenakan pidana denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan.

Sedangkan untuk terdakwa Usman dikenakan vonis hukuman empat tahun penjara dengan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan. Vonis hukuman pada tingkat banding ini lebih rendah dari pada sebelumnya di pengadilan tingkat pertama, yakni selama enam tahun dengan denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan.

Begitu juga dengan uang pengganti yang dibebankan kepada Usman. Pada pengadilan tingkat pertama, Usman dibebankan Rp1,638 miliar subsider satu tahun enam bulan. Sedangkan pada tingkat banding, uang pengganti berubah menjadi Rp312,47 juta subsider tiga bulan kurungan.