Seorang pecinta alam harusnya aktivis juga

id Pecinta alam,Mapala,Orpala,KPA,Sispala

Seorang pecinta alam harusnya aktivis juga

Pecinta olahraga ekstrem Rapelling menuruni dinding air terjun Tumpak Sewu di Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, Minggu (27/6/2021). Tebing air terjun setinggi 120 meter itu menjadi tempat menantang pecinta olahraga Rapelling. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc. (ANTARA FOTO/BUDI CANDRA SETYA)

mendorong agar supaya pecinta alam kembali pada jati dirinya yang sebenarnya
Mataram (ANTARA) - Bila merujuk pada pengertian atau definisi secara umum, pecinta alam adalah seseorang atau kelompok orang yang aktivitasnya banyak dilakukan di alam bebas pada bidang petualangan, lingkungan hidup, konservasi alam dan juga kemanusiaan. 

Lebih jauh lagi, pecinta alam dalam
persepsi masyarakat Indonesia merujuk pada perseorangan atau kelompok yang bergerak di bidang petualangan alam bebas seperti mendaki gunung, ekspedisi ke hutan belantara, panjat tebing, arung jeram, susur gua, penyelaman bawah laut, petualangan dengan perahu layar di samudra, mengarungi angkasa dengan pesawat sederhana dan lain sebagainya. 

Setidaknya demikianlah yang bisa kita baca dalam situs ensiklopedia bebas, wikipedia. Anggap saja apa yang dituliskan tersebut di atas benar mewakili persepsi orang banyak
mengenai apa dan siapa sih itu pecinta alam?. Rasanya kalau kita mau jujur, pandangan tersebut tidak sepenuhnya bisa disalahkan. 

Penekanan yang berlebihan pada aspek kegiatan kepetualangan yang jauh melebihi dimensi kegiatan di bidang lain yang justru mestinya lebih koheren dengan etimologi kata pecinta alam itu sendiri.

Kalau sekiranya mau membuktikan, tidak perlu susah-susah. Coba cek apa yang ditampilkan pada situs web resmi organisasi-organisasi pecinta alam (Orpala, KPA, Sispala, Mapala) di
negeri kita. Amati kode-kode semiotik seputar dunia kepecintaalaman yang tersirat dari simbol, gambar, bahasa dan jargon yang ada. 

Apa yang tercermin di situ? Sebagian besar, kalau tidak seluruhnya, menampilkan dimensi petualangan yang kental, gambar-gambar perjalanan ke gunung salju atau tebing yang tinggi hingga pengarungan sungai seolah menjadi menu yang wajib ada. 

Take nothing but pictures euy? ;) Kalau mau menggali lebih dalam lagi, ambil gawai, hubungi beberapa teman yang mengaku atau masih bergabung dengan organisasi kepecintalaman di sekolah atau kampusnya dulu. Budaya
organisasi pecinta alam memang keanggotaannya berlaku seumur hidup. 

Ajak ngobrol tentang kegiatan di alam bebas yang mereka lakukan sejak dulu. Sebagian bahkan masih melakukannya hingga sekarang. Jangan menanyakan pertanyaan normatif tentang kepecintaalaman, dengarkan saja ceritanya. 

Penafsiran pada cerita pengalaman (experiential stories) itu bisa jadi tidak akan jauh dari apa yang termaknai di situs web tadi, sebagai salah satu artefak budaya, yakni citra pecinta alam sebagai petualang atau penjelajah atau pehobi kegiatan alam bebas.

Kesimpulan di atas bisa dipahami karena kegiatan di luar kegiatan kepetualangan memang tidak dominan dicitrakan pecinta alam. Walaupun sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kegiatan terkait bidang lingkungan hidup, konservasi alam dan kemanusiaan dilakukan oleh para aktivis yang juga adalah pecinta alam. 

Bahkan pihak-pihak yang aktif dalam kegiatan advokasi lingkungan, pelestarian dan perlindungan alam maupun kegiatan kemanusiaan terkait bencana misalnya, kebanyakan berlatar belakang pecinta alam. 

Lantas kenapa dimensi kegiatan-kegiatan ini tidak semenonjol kegiatan kepetualangan tadi sehingga dimensi itu oleh umum tidak serta
merta diatribusi atau dilekatkan pada seorang pecinta alam?.

Apakah karena aktivisme non kepetualangan itu secara etis bukan jenis kegiatan yang bisa diekspos atau dipublikasikan secara gegap gempita? Ataukah karena ada pergeseran identitas atau jati diri sebagai seorang
pecinta alam?.

Petualang atau aktivis?

Mengenai pengertian petualang, sepertinya sudah secara gamblang terpaparkan di atas. Siapapun yang berkegiatan di alam bebas pastilah harus mengikuti kaidah petualangan. 

Itu kalau mau aman dalam melakukan kegiatan dan bisa kembali ke rumah dengan selamat. Materi wajib yang pertama sekali diajarkan di setiap pendidikan dasar kepecintaalaman adalah tentang bagaimana mengelola resiko (bahaya subyektif & obyektif), ketika memiliki rencana akan melakukan kegiatan di alam bebas. 

Apapun bentuk kegiatannya dan di manapun lokasi kegiatan itu akan dilakukan. Petualang erat kaitannya pada aktivitas yang penuh ketidakpastian, mengandung resiko,
menantang bahaya. Setelah mengetahui hal tersebut, pecinta alam kemudian dituntut untuk selalu membina diri mengolah kemampuan khusus yang dibutuhkan terkait kegiatan yang dilakukan di alam bebas tersebut. 

Serangkaian kegiatan operasional dari mulai latihan fisik untuk mencapai tingkat kebugaran tertentu hingga materi kelas, praktek lapangan dan simulasi perjalanan menjadi kegiatan yang penting dan diprioritaskan untuk memastikan kompetensi yang dibutuhkan. 

Sangking substansialnya, maka kebanyakan desain organisasi pecinta alam dari mulai struktur organisasi, rencana strategis, program kerja dan lain sebagainya berkutat seputar kegiatan ini.

Lantas, bagaimana dengan dimensi kegiatan pecinta alam lainnya yang lebih lekat pada aspek aktivisme lingkungan, konservasi dan kemanusiaan? Apa itu aktivis atau aktivisme? Secara umum, dalam KBBI aktivis diterangkan sebagai orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. 

Sementara secara khusus, aktivis adalah orang yang mengambil tindakan aktif untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini dapat membawa perubahan, biasanya sosial atau politik. 

Adapun aktivisme atau kegiatan aktivis
adalah upaya yang dimaksudkan untuk mengemukakan masalah perubahan yang terkait masyarakat, kuasa pemerintahan, tatanan masyarakat, atau lingkungan. 

Upaya yang dilakukan dapat berupa kegiatan langsung maupun tidak langsung, secara institusional atau melalui saluran lembaga sosial yang ada dalam masyarakat maupun secara non institusional, selama ditujukan untuk mengusung isu-isu perubahan. Sejatinya kegiatan pecinta alam di alam bebas senantiasa berkelindan dengan hal-hal ini.

Ketika memutuskan untuk mengeksplorasi suatu medan petualangan, dalam konteks untuk
memitigasi resiko obyektif, pecinta alam dituntut untuk mengetahui apapun terkait situasi dan kondisi lingkungan alam, serta kemanusiaan yang ada di situ. 

Sebagai contoh ketika akan melakukan
perjalanan pendakian gunung dalam rangka pengembaraan atau perjalanan biasa. Seorang pecinta alam tentu mengumpulkan gambaran utuh tentang objek gunung yang akan didaki dengan segala aspek yang terkait untuk memetakan risiko. Ketika ada info rusaknya jalur pendakian karena longsor misalnya, sejatinya harus mencari tahu ada apa dibalik itu. 

Apakah itu terjadi karena sebab-sebab alami semata atau karena ada alasan lain. Ketika ternyata diketahui ada unsur manusia yang berpotensi dan atau telah menyebabkan kerusakan alam tersebut.

Apakah pecinta alam, dengan kemampuan teknis operasionalnya, hanya akan membuka jalur pendakian alternatif demi tujuan kegiatannya tercapai atau akankah ia bertindak lebih jauh dengan mengangkat isu tersebut dan mengupayakan aktivitas yang bertujuan setidaknya membantu ke arah perbaikan situasi. 

Mampukah pecinta alam bertindak seperti itu ketika kompetensi sebagai seorang aktivis luput atau tidak menjadi sesuatu yang dibina dalam organisasi.

Kalau ukurannya kepedulian, seorang pecinta alam pasti sangat peduli dengan hal-hal seperti ini. Tapi ketika ia tidak bertindak atau bahkan dengan (tanpa) sengaja berjarak dengan isu-isu
yang mengemuka di saat melakukan kegiatan. 

Masih pantaskah menyandang nama pecinta alam? Alih alih mencintai alam, kegiatannya jadi lebih bernuansa menikmati alam demi heroisme ataupun romantika semata. Apa bedanya dengan para penggiat outdoor individual nirorganisasi yang di zaman digital ini semakin menjamur karena didorong mudahnya akses informasi, fasilitas serta dukungan para operator petualangan yang bermotif ekonomi.

Pada kesempatan ini, saya mendorong agar supaya pecinta alam kembali pada jati dirinya yang sebenarnya. Hasrat dan kemampuannya dalam bertualang di alam bebas.

Semestinya menjadi kekuatan utama terkait perannya untuk mengangkat dan memperjuangkan isu-isu lingkungan hidup, konservasi alam dan kemanusiaan. Sebaiknya, jangan hanya berhenti menjadi petualang saja namun berproseslah pula menjadi aktivis-aktivis yang memperjuangkan dan membina lingkungan sebagai wujud cinta kepada alam. 

Tidak ada yang salah dengan hasrat
kepetualangan yang militan, karena itu adalah salah satu kekuatan seorang pecinta alam tapi ingatlah bahwa kita masih memiliki dimensi kekuatan lain.

Apalagi di masa pandemi yang belum tahu kapan akan berakhir ini. Pecinta alam justru harus bisa mengambil peran lebih dan sebenarnya banyak alternatif kegiatan yang bisa dilakukan.

Sebagai contoh misalnya dengan terlibat dalam kegiatan kemanusiaan terkait penanganan pandemi di lingkungan sekitar, membuat serangkaian kampanye yang mengangkat isu perubahan perilaku, mendorong dan menggugah pentingnya urban farming pada masyarakat perkotaan untuk ketahanan dan lain sebagainya, tentu harus bisa dilakukan dengan cara unik khas pecinta alam!.

Luthfi R (PLW 24382078 KP)