Jatidiri & Jalan Kemanusiaan Mahasiswa Pecinta Alam

id Mapala ,Indonesia,Mahasiswa,Alam,Mahasiswa Pecinta Alam,Luthfi Rantaprasaja,Outdoor Activity,Outdoor,Adventure,Palawa Unpad,Mapala di Indonesia Oleh Luthfi Rantaprasaja (*)

Jatidiri & Jalan Kemanusiaan Mahasiswa Pecinta Alam

Luthfi Rantaprasaja

mengubah persepsi umum akan citra mahasiswa pecinta alam yang tidak sesempit heroisme, romantisme, kebanggaan komunal semata
Mataram (ANTARA) - Beberapa waktu lalu terdengar kabar ada Organisasi Mahasiswa Pecinta Alam di salah satu kampus di Jakarta dibubarkan melalui surat keputusan rektor. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas hal itu atau masuk dalam polemik masalah tersebut. Hanya ingin memberikan gambaran betapa kegiatan ini memiliki potensi yang baik dan mulia sebenarnya.

Mahasiswa Pecinta Alam atau lazim disebut Mapala adalah organisasi kepecintaalaman tingkat perguruan tinggi. Umumnya unit kegiatan mahasiswa (UKM) ini berada di tingkat universitas namun ada juga beberapa yang berdiri di tingkat fakultas.  

Mapala merupakan suatu organisasi yang sangat banyak nilai positifnya. Terutama dalam era dimana dunia dibayangi krisis multidimensi, dari masalah sosial, kemanusiaan, energi hingga perubahan iklim, sejatinya kegiatan kepecintaalaman menjadi semakin relevan untuk kaum muda saat ini.

Organisasi ini merupakan organisasi yang unik karena mengkombinasikan kegiatan luar-ruang (outdoor activity) yang berdimensi kepetualangan dengan sekaligus juga kegiatan yang berdimensi kepedulian lingkungan, pelestarian alam dan bahkan kemanusiaan. 

Barangkali sulit untuk menemukan padanan organisasi yang sejenis di negara lain, karena biasanya lebih spesifik, kalau tidak klub outdoor-adventure berbasis olahraga petualangan ya organisasi lingkungan yang fokusnya pada konservasi alam.

Kultur Organisasi Pecinta Alam & Mapala

Keunikan organisasi pecinta alam tidak terlepas dari sejarah berdirinya organisasi kepecintaalaman di Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an. Berbeda dengan kultur outdoor di Amerika Serikat di periode tahun 1950-an dan 1960-an yang lebih berbasis aktivitas keluarga (Tsing, 2004). 

Di Indonesia, kegiatan outdoor ini diprakarsai oleh sekelompok pemuda, menjadi aktivitas khas anak muda dan karenanya memarak di kampus-kampus perguruan tinggi dan sekolah-sekolah. Di samping banyak juga kelompok pemuda atau komunitas di luar kampus yang mendirikan organisasi pecinta alam.

Pelopor organisasi pecinta alam yang sama-sama berdiri di tahun 1964 adalah Wanadri di Bandung dan Mapala UI di Jakarta. Walaupun berdiri dalam waktu yang relatif bersamaan, nuansa sejarah yang melatarbelakangi pendiriannya cukup berbeda yang mempengaruhi kultur keorganisasian antara keduanya. 

Wanadri lahir dari para pemuda yang memiliki latar belakang kepanduan dengan semangat kepetualangan alam bebas yang militan. Sementara Mapala UI didirikan dari para aktivis mahasiswa sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim politik yang penuh intrik kala itu, juga sebagai perwujudan kebebasan sipil terhadap doktrin militerisme yang dianggap tidak rasional (Utomo, 2014). Kedua organisasi ini masih berdiri dan bisa dibilang masih menjadi market leader untuk kegiatan kepecintaalaman di Indonesia.

Selanjutnya di periode tahun 1970-an mulai bermunculan pembentukan organisasi mahasiswa pecinta alam di kampus-kampus besar di tanah air. 

Sementara gelombang berdirinya organisasi mahasiswa pecinta alam di beberapa kampus lainnya semakin memarak ketika kegiatan kepecintaalaman sedang memasuki masa puncak kepopulerannya di periode tahun 1980-an. Ketika tren sudah terbentuk membuat aktivitas menjadi semakin populer hingga pada periode tahun 1990-an hampir semua kampus memiliki organisasi pecinta alamnya sendiri (Tsing, 2004).

Sebagai organisasi intra kampus, mahasiswa pecinta alam (Mapala) ada dalam naungan Universitas. Secara kultural, jati diri Mapala lebih dekat pada karakter nilai & aktivitas organisasi kemahasiswaan, sebagai bagian dari masyarakat kampus yang ilmiah. Namun demikian, sebagai organisasi pecinta alam dalam konteks sosial maupun kultural ada juga yang justru jauh lebih dekat pada model organisasi kepanduan seperti Wanadri yang sebenarnya merupakan organisasi pecinta alam non kampus yang terbuka untuk masyarakat umum. Berbeda secara mendasar dengan Mapala yang hanya dikhususkan untuk mahasiswa yang bahkan harus diterima masuk perguruan tingginya terlebih dahulu untuk bisa bergabung ke dalamnya. 

Spektrum kedekatan secara kultural tersebut bisa dipahami karena posisi organisasi-organisasi pelopor yang dominan, sehingga mempengaruhi orientasi para pendiri organisasi yang baru didirikan kemudian. Keterlibatan secara personal beberapa anggota perhimpunan umum, baik langsung sebagai pelatih maupun tidak langsung sebagai teman berdiskusi, semakin mewarnai corak organisasi Mapala berbasis kampus lainnya. 

Pengaruh difusi itu bisa dilihat dari pola perekrutan, sistem keanggotaan, mekanisme pembinaan organisasi, pola hubungan yang tercipta dan lain-lain yang ada kemiripan antara organisasi kepecintaalaman yang satu dengan yang lain. Memang kultur organisasi berasal dari pengaruh 3 aliran nilai-nilai yang dominan yakni; nilai & visi para pendiri, lingkungan sosiokultural dan dinamika organisasi sebagai respon adaptif dari situasi yang merangsang tindakan & reaksi (Pant, 2014).

Ragam Kegiatan & Kebermanfaatan Mapala

Pelaksanaan kegiatan Mapala yang bernafaskan kepetualangan mungkin sampai saat ini masih jauh lebih dominan daripada bentuk-bentuk kegiatan kepecintaalaman lainnya. Bisa jadi karena memang awalnya tujuan utama berkegiatan di organisasi pecinta alam seperti Mapala untuk menyalurkan minat dan hobi berpetualang di alam bebas. Walaupun demikian, banyak juga organisasi Mapala yang dari awal pendiriannya sudah mencanangkan dimensi lain selain petualangan semata dalam setiap kegiatan operasionalnya. 

Keterampilan operasional tentu merupakan kemampuan dasar bagi setiap anggota Mapala yang selalu harus diasah agar mereka dapat beraktivitas di alam bebas secara aman dan nyaman. Tidak heran kalau pendidikan dan latihan dasar Mapala kadang bagi orang luar terkesan keras, semata karena ada faktor resiko dalam beraktivitas di alam bebas yang berusaha dimitigasi. 

Bahaya subjektif seperti ketidakmahiran, kelalaian, kecerobohan  dan lain-lain adalah hal yang dapat meningkatkan faktor resiko sehingga latihan dan hubungan senior-junior yang nampak keras sebenarnya adalah salah satu upaya menyelamatkan dari resiko yang tidak perlu. Tidak bisa dipungkiri memang ada oknum Mapala yang menerapkannya secara berlebihan. Namun kalau ia ingat bahwa pola pendidikan, latihan dan hubungan dalam organisasi Mapala adalah untuk menyelamatkan, maka tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan ini justru menjadi kontraproduktif. 

Setiap organisasi Mapala dalam konteks kegiatan operasional selalu berkeinginan untuk mewujudkan hasrat kepetualangannya dan menguji kemampuannya dengan merancang dan melaksanakan ekspedisi menjelajah tempat-tempat menantang yang tertinggi, terdalam, terluas, tersulit dan lain sebagainya. Namun sejatinya puncak prestasi Mapala bukan hanya karena sudah pernah menjelajah ke tempat-tempat tersebut, tapi juga ketika Mapala itu siap menurunkan dan mengirimkan anggotanya yang terampil dalam operasi SAR, kebencanaan dan operasi kemanusiaan lainnya ketika dibutuhkan.

Tidak jarang, anak Mapala yang terkesan paling garang dan urakan di kampus adalah orang yang paling mudah tersentuh jiwa kemanusiaanya dan siap mendarmabaktikan dirinya untuk membantu sesama. Rasanya Mapala adalah salah satu unit kegiatan mahasiswa yang sampai saat ini paling bisa diandalkan ketika situasi menuntut kampus untuk segera bergerak karena ada situasi bencana misalnya.

Tidak terhitung juga kegiatan alam bebas Mapala yang dibarengi misalnya dengan kajian ilmiah baik berupa pengamatan atau penelitian sosial masyarakat, pemetaan, pengambilan data fisik maupun eksperimentasi yang lebih teknikal. Beberapa Mapala bahkan mensyaratkan aspek keilmiahan ini sebagai jati diri Mapala yang sebenarnya, sebagai tanggung jawab menjadi bagian dari masyarakat ilmiah. Sehingga seorang anggota Mapala bila mendaki gunung misalnya,  tidak hanya naik & turun gunung saja tapi harus ada hal-hal lain yang bisa dikaji dan dilaporkan sebagai output dari perjalanan tersebut. 

Aktivitas lain yang sering dilakukan Mapala adalah hadir di tengah masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang paling jauh dari kota tempat kampusnya berada atau karena situasinya, juga masyarakat yang paling terpinggirkan. Mapala yang awalnya bersentuhan dengan masyarakat karena memang kebetulan sedang berada di tempat itu ketika sedang melaksanakan kegiatan operasionalnya, seringkali kembali ke tempat itu lagi dengan suatu program kegiatan untuk membantu masyarakat tersebut. Sesuatu yang juga merupakan suatu puncak prestasi ketika sekelompok mahasiswa pecinta alam, karena kepeduliannya merancang suatu program untuk masyarakat walaupun untuk mewujudkan inisiatifnya itu selalu dibayangi keterbatasan sumber daya yang mereka miliki. 

Kegiatan mereka bisa beratus kilometer jauhnya dari kampus sehingga membutuhkan perhitungan logistik yang bahkan sering harus dipenuhi dari uang saku mereka sendiri, selain juga harus kesana kemari mensinergikan pihak-pihak terkait baik di pusat maupun daerah yang sering juga sebenarnya merupakan tupoksi mereka yang belum terlaksana. Itu semua dilakukan tanpa berharap imbalan apapun, walaupun skala  kegiatan itu jauh di atas mata kuliah terkait pengabdian masyarakat yang merupakan beban akademik dari kampus.

Mapala di persimpangan jalan?

Demikianlah aktivitas beragam yang dilakukan mapala serta kebermanfaatannya untuk masyarakat luas. Tantangannya adalah bagaimana supaya kegiatan yang beragam tersebut bisa dilaksanakan secara lebih merata. Dengan lingkup kegiatan yang sedemikian banyak, unit kegiatan mahasiswa pecinta alam menjadi salah satu organisasi mahasiswa di kampus yang paling intens. 

Kesibukannya bahkan mungkin bisa mengalahkan gabungan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya. Pihak kampus mestinya memahami ini, sebagai contoh ketika situasi pandemi kemarin mungkin ada Mapala yang masih beraktivitas tatkala organisasi mahasiswa lain tidak ada di kampus. Hal itu terpaksa dilakukan karena sedang melaksanakan program kepedulian untuk mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus yang kesulitan karena pembatasan kegiatan selama pandemi. 

Organisasi Mapala yang sudah mapan, memiliki program kerja yang sudah baku dan secara turun temurun menjadi model kegiatan yang harus dilaksanakan Dewan Pengurus dalam periode kepengurusannya. Satu sisi, kegiatan Mapala di berbagai bidang tersebut biasanya selalu bisa terealisasi dengan baik, salah satunya karena melibatkan seluruh anggota Mapala, termasuk yang sudah alumni karena sifat keanggotaannya yang seumur hidup. Namun di sisi lain, sistem, mekanisme, kebiasaan & tradisi yang diwariskan tersebut kadang membuat kultur perhimpunan menjadi statis, tidak dinamis dan cenderung rigid dalam menyikapi perubahan yang terjadi. Ada baiknya senior legowo untuk mendorong juniornya yang masih aktif untuk lebih kreatif lagi dalam memformulasikan kegiatannya.
 
Sebenarnya perubahan yang paling utama yang harus terlebih dahulu diantisipasi adalah mengadaptasi tuntutan kurikulum akademis untuk lulus lebih cepat, yang mana memberi tekanan pada masa keanggotaan efektif. Situasi ini mungkin berbeda dibandingkan dengan yang dihadapi seniornya di era 80-90an. Sehingga jangan sampai stereotip mapala sebagai mahasiswa yang lama lulus mendapatkan justifikasinya.  Pihak kampus pun mestinya bisa lebih berempati dan mendorong kolaborasi, karena kegiatan Mapala sejatinya sejalan dalam mengamalkan Tridharma perguruan tinggi dan terlebih lagi banyak yang secara langsung maupun tidak langsung juga ikut mengharumkan nama baik kampus di masyarakat.

Mapala yang masih mengarusutamakan kegiatan petualangan semata mungkin saat ini terasa bak di persimpangan. Padahal semua kegiatan Mapala yang humanis tersebut bisa disinergikan. Oleh karena itu, penting bagi setiap Mapala untuk berani mengevaluasi organisasi agar lebih progresif sehingga dapat mengubah persepsi umum akan citra mahasiswa pecinta alam yang tidak sesempit heroisme, romantisme, kebanggaan komunal semata sehingga abai untuk apresiatif pada aspek kemanfaatan Mapala yang lebih luas.

Luthfi Rantaprasaja 
(PLW 24382078 KP)
Anggota Luar Biasa Palawa Unpad