NELAYAN LABUAN LALAR DARI PETROMAK KE GENSET Oleh Masnun

id

   
     Pagi itu pria bertubuh ramping berkulit sawo matang terlihat tersenyum. Sesekali ia menyeruput kopi hangat kemudian menghisap dalam-dalam rokok kreteknya sambil bercerita malam itu cumi-cumi hasil tangkapannya cukup banyak.    
      Saparuddin (35), nelayan asal Desa Labuan Lalar Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat mengaku malam itu mendapat dua bak cumi-cumi berisi sekitar 40 kilogram yang dijual ke "pelele" seharga Rp2 juta.
      "Sejak musim cumi-cumi bulan ini hasil tangkapan kami lumayan banyak dan hasil penjualannya juga lumayan. Sebelumnya kalau dapat satu ember sudah syukur," kata pria berambut kriting itu sambil kembali menyulut rokoknya.
       Hasil tangkapan cumi-cumi yang cukup banyak itu juga dinikmati puluhan nelayan lainnya di Desa Labuan Lalar khususnya yang menggunakan mesin genset dan lampu listrik sebagai lampu penerangan saat melaut agar cumi-cumi dan ikan lainnya banyak datang.
      Sejumlah nelayan di Desa Labuan Lalar yang selama ini menggunakan lampu petromak beralih menggunakan genset untuk penerangan ketika melaut setelah harga minyak tanah meroket menyusul ditariknya jenis bahan bakar tersebut bersubsidi itu.
      Pada awalnya Saparuddin mencoba menggunakan genset dengan dua mata lampu ternyata banyak ikan yang datang ke tempatnya berlabuh dan hasil tangkapannya saat itu cukup banyak. Jauh lebih banyak dibandingkan ketika menggunakan lampu petromak.
      "Awalnya karena tidak kuat membeli minyak yang harganya cukup mahal, saya mencoba menggunakan genset pinjaman dari teman dengan dua mata lampu listrik, ternyata banyak ikan yang datang, bahkan hasil tangakapan saya jauh lebih banyak dibandingkan ketika menggunakan lampu petromak," katanya.
      Agar sinar lampu bisa terang hingga ke dasar laut. pria yang tidak tamat Sekolah Dasar (SD) itu kemudian berpikir keras memutar otak dan akhirnya ia membuat "kap" atau penutup lampu menggunakan ember plastik, sehingga sinar lampu bisa tembus sampai dasar laut.
      Keberhasilan Saparuddin dalam "merekayasa" pengganti lampu petromak untuk penerangan saat melaut itu ternyata mengundang kecemburuan nelayan lainnya, karena hasil tangkapannya tidak pernah sedikit. Bahkan ia pernah diancam rumahnya akan dibakar jika masih menggunakan genset.
      "Pada awal saya menggunakan genset banyak nelayan lain yang menggunakan lampu petromak protes, bahkan mereka mengancam rumah saya akan dibakar jika tidak berhenti menggunakan alat baru hasil rekayasa itu dengan alasan ikan-ikan tersedot ke tempat saya yang sinar lampunya lebih terang," katanya mengenang pengalaman masa lalunya.
      Namun setelah "teknologi" temuannya itu diberikan kepada nelayan lain, banyak yang mengikuti dan kini banyak nelayan lain di Desa Labuan Lalar yang beralih menggunakan genset sebagai pengganti petromak untuk penerangan saat melaut.
      Bahkan, katanya, saat ini nelayan yang masih menggunakan lampu petromak diejek oleh temannya saat menangkap ikan di tengah laut dengan mengatakan mereka dagang kacang.
      "Sekarang ini nelayan yang masih menggunakan lampu petromak untuk melaut diejek oleh temannya lain. Mereka disebut dagang kacang, karena sinar lampunya buram, tidak seterang cahaya kalau mengunakan genset dengan lampu listrik," ujar pria penemu "teknologi" alat nelayan itu.    
                                              Berbagai keunggulan
 
     Usman (37), nelayan lainnya di Desa Labuan Lalar mengakui berbagai keungguan lampu penerangan yang menggunakan genset itu. Selain bisa mendatangkan banyak ikan dan hasil tangkapan lebih banyak, biaya yang harus dikeluarkan juga lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan petromak.
       Kalau menggunakan lampu petromak sekali melaut menghabiskan biaya bahan bakar minyak tanah mencapai Rp50.000 untuk empat lampu dan Rp25.000 untuk dua lampu, sedangkan kalau menggunakan genset cukup Rp10.000 untuk dua liter bensin atau premium.
       "Belum lagi kita harus menyiapkan kaos dan kaca lampu yang terkadang bisa setiap melaut harus diganti, bahkan tidak jarang kita terpaksa mengganti dua kalau selama satu malam melaut jika kebetulan musim gelombang tinggi," katanya.
       Ia mengakui modal awal untuk pembelian genset memang cukup besar. Untuk genset yang kualitas baik mencapai Rp2 juta termasuk lampu listrik 150 watt yang harganya Rp120.000 per buah, namun bisa bertahan berbulan-bulan, bahkan ada yang bertahan sampai lebih setahun.
       Dari sisi harga genset sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda, sebab harga satu lampu petromak mencapai Rp400.000, jika menggunakan empat lampu maka total harganya Rp1,6 juta belum dihitung biaya perlengkapan seperti kaos dan kaca lampu yang harus sering diganti.
       Menurut Usman, dari sisi hasil tangkapan antara nelayan yang menggunakan genset jauh lebih banyak dibandingkan dengan yag menggunakan lampu petromak. Bahkan hasilnya satu berbanding sembilan.
       "Karena itu sebenarnya di Desa Labuah Lalar banyak nelayan lain yang ingin beralih menggunakan genset, namun mereka tidak mampu membeli genset yang harganya cukup mahal," ujarnya.
       Penggunaan lampu listrik dengan genset untuk melaut memang cukup menuntungkan, namun tidak semua nelayan mampu membeli peralatan tersebut. Karena itu mereka membutuhkan uluran tangan pemerintah atau perusahaan yang beroperasi di daerah ini.
       Usman mengatakan, sejak beberapa tahun ini perusahaan tembang tembaga dan emas PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) memberikan bantuan kepada nelayan di Kabupaten Sumbawa Barat termasuk nelayan di Desa Labuan Lalar, antara lain untuk pembelian mesin ketinting atau perahu.
      "Namun kami melihat bantuan yang jumlahnya ratusan juta banyak yang tidak mencapai sasaran. Sebagai contoh kapal penangkap ikan sudah dua tahun tidak dimanfaatkan dan kini kapal tersebut hampir rusak karena tidak dimanfaatkan," katanya.
       Karena itu, menurut Usman, bantuan PTNNT itu akan lebih baik kalau diarahkan untuk pengadaan genset guna meningkatkan hasil tangkapan nelayan yang akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan para nelayan.
      "Saya yakin kalau bantuan itu diarahkan untuk membeli genset kemudian dibagikan kepada melayan, maka akan cukup membantu meningkatkan kesejahteraan mereka, dibandingkan kalau dibelikan mesin ketinting, karena hampir semua nelayan di Desa Labuan Lalar sudah memiliki alat tersebut," kata pria berkulit legam itu.
      Manfaat lain dari genset menutut Usman, adalah ketika para nelayan tidak melau, mereka bisa menggunakan untuk penerangan di rumah ketika listrik PLN padam.
   
        Kekurangan alat tangkap
      Sementara itu anggota DPRD Kabupaten Sumbawa Barat dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Andy Laweng sebagian nelayan di Desa Kertasari, Labuhan Lalar, dan Kecamatan Poto Tano, mengalami kekurangan alat tangkap seperti perahu motor serta jaring dan alat tangkap lainnya yang mereka butuhkan untuk menopang kehidupan sehari-hari.
     "Kebanyakan nelayan mencari nafkah dengan ikut menumpang perahu motor milik warga lain. Karena itu Dinas Perikanan dan Kelautan perlu memperhatikan nasib para nelayan itu terutama memberikan bantuan langsung berupa alat tangkap," ujarnya.
      Ini realitas yang tidak bisa dibantah bahwa nelayan memang identik dengan kemiskinan. Belum ada program bantuan yang langsung menyentuh kebutuhan pokok nelayan.
      "Saya dari daerah pemilihan II Taliwang. Saya duduk mewakili nelayan. Saya rasa ada perlakukan tidak adil pemerintah terhadap komunitas nelayan. Banyak program dicanangkan, tapi banyak tidak jalan," katanya.
       Hal senada juga diungkapkan Ahmad, anggota DPRD dari Partai Demokrat (PD). Anggota dewan dari daerah pemilihan II yang juga berbasis nelayan ini mengungkapkan nelayan di Labuhan Lalar dan Poto Tano kondisinya juga tidak beda di Kertasari, di Labuhan Lalar dan Poto Tano ada sekitar 300 KK nelayan tidak memiliki sarana tangkap.
      "Banyak nelayan harus bergiliran turun melaut karena tidak memiliki sarana sendiri. Kebanyakan perahu yang dimiliki sudah tidak layak, apalagi jaringnya. Nelayan kita masih mencari ikan dengan mengandalkan pancing tradisional," katanya.
      Karena itu, Andy Laweng dan Ahmad meminta pemerintah segera mengambil kebijakan strategis, yakni merevitalisasi sarana tangkap nelayan di seluruh wilayah Sumbawa Barat.
      Selain itu, harus ada upaya mengotimalisasikan bantuan langsung yang fokus kepada pemenuhan kebutuhan dasar yang dibutuhkan nelayan.
      "Kita desak program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) diarahkan kepada penyediaan kebutuhan nelayan tersebut. Harus ada langkah tegas dan fokus secara langsung agar nelayan terbebas dari kemiskinan," katanya.
       Dampak penghentian penyaluran minyak tanah bersubsidi sejak beberapa tahun lalu agaknya tidak dirasakan oleh para ibu rumah tangga yang terbiasa menggunakan jenis bahan bakar itu untuk memasak.
        Namun para nelayan Desa Labuan Lalar, Kabupaten Sumbawa Barat juga  menanggung beban berat karena harus membeli minyak tanah untuk bahan bakar lampu petromak mereka dengan harga tinggi.
       Ternyata kesulitan yang mereka hadapi akibat tidak adanya minyak tanah bersubsidi itu berbuah manis. Para nelayan menemukan lampu penerangan menggunakan genset yang lebih efisien dan menguntungkan untuk melaut dan hasil tangkapan mereka pun lebih melimpah.
       Namun untuk memberikan kehidupan lebih layak bagi komunitas yang selama ini lekat dengan kemiskinan itu dibutuhkan kepedulian dan uluran tangan pemerintah maupun PT NNT untuk sekedar membantu genset dan kelengkapannya yang nilainya tidak terlalu besar.  

KETERANGAN FOTO: Penerangan genset- Nelayan Labuan Lalar ketika melaut menangkap ikan

PENERANGAN GENSET - Nelayan Labuan Lalar menggunakan genset dan lampu listrik untuk penerangan saat menangkap. Penggunanaan alat penerangan baru inui muncul ketika harga minyak tanah melam,bung setelah pemerintah menarik bahan bakar minyak tanah bersyubsidi.

HASIL TANGGAKAPN IKAN- Hasil tangkapan ikan nelayan Labuan Lalar

(Foto AntaraMataram,com- Bambang Mardiansyah)