Mataram, 17/1 (ANTARA) - Panitia Khusus DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat mengkaji ulang rancangan peraturan daerah tentang pengelolaan tambang mineral dan batubara yang sebelumnya sudah dinyatakan rampung pembahasannya dan hendak ditetapkan dalam sidang paripurna.
"Kaji ulang karena yang semula dianggap rampung, ternyata masih ada sejumlah persoalan yang belum terangkum," kata Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda Pengelolaan Tambang DPRD Provinsi NTB Ruslan Turmudji, usai rapat koordinasi pansus dengan tim Pemprov NTB terkait penggodokan rancangan perda (raperda) pengelolaan tambang itu, di Mataram, Selasa.
Pansus DPRD NTB itu kembali mengundang tim Pemprov NTB guna mematangkan raperda pengelolaan tambang itu, terkait sejumlah persoalan yang belum terangkum dalam raperda yang semula dinyatakan lengkap itu.
Persoalan dimaksud antara lain pasal dalam raperda yang belum secara tegas mengatur kewenangan pemerintah provinsi dalam pengawasan lingkungan tambang dan keberlanjutan usaha penambangan.
Masalah lainnya yakni kewenangan pemerintah provinsi dalam pemberdayaan warga miskin di lingkar tambang, dan kewenangan pengawasan dana tanggungjawab sosial perusahaan tambang.
"Seperti saya kemukakan dalam rapat koordinasi tadi, raperda pengelolaan tambang ini sensitif sehingga perlu dibahas dan dikaji secara mendalam sebelum dibawa ke sidang paripurna untuk penetapannya," ujar Ruslan.
Ruslan dan anggota pansus lainnya, mengaku bersyukur dengan adanya penundaan penetapan raperda menjadi perda, yang semula dijadwalkan dalam sidang paripurna pada 17 Desember 2011.
Penundaan itu disebabkan oleh padatnya agenda sidang paripurna DPRD NTB saat itu, yakni penetapan APBD NTB 2012, dan paripurna khusus terkait HUT Ke-53 Pemprov NTB.
Bahkan, sidang paripurna dengan agenda penepatan raperda menjadi perda pengelolaan tambang yang dijadwalkan 28 Desember 2011, juga dibatalkan karena pimpinan DPRD NTB belum merestuinya.
Dengan demikian, pembahasan raperda pengelolaan tambang berdasarkan Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba itu, masih terus berlanjut hingga dipastikan telah mencakup semua hal yang hendak dirangkum.
Upaya konsultasi dengan pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) juga masih harus dilakukan, meskipun Pansus DPRD NTB dan tim Pemprov NTB telah berkali-kali berkonsultasi dengan pejabat pusat di berbagai kementerian terkait, untuk penyempurnaan raperda pengelolaan tambang itu.
Konsultasi pertama dengan Dirjen Minerba dan Panas Bumi, yang kemudian disarankan agar berkonsultasi juga dengan kementerian terkait seperti Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Lingkungan Hidup, serta pihak terkait lainnya.
Di kalangan internal DPRD NTB, raperda itu juga telah ditanggapi fraksi-fraksi pada sidang 23 September 2011, dan pendalaman bersama Biro Hukum Setda NTB pada 29 September dan 6 Oktober lalu.
Raperda pengelolaan tambang minerba itu berisi 16 bab, 60 pasal dan 132 ayat, yang diharapkan mampu mengakomodasi 19 kewenangan pemerintah provinsi dan menjawab 12 isu strategis.
Kewenangan pemerintah provinsi di bidang pertambangan sesuai Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, antara lain pembinaan dan pengawasan, pengaduan masyarakat, pengaturan jasa usaha lokal dan ketentuan lainnya seperti tata cara penutupan tambang.
Dalam undang undang minerba itu, pemerintah provinsi juga berperan dalam pengusahaan pertambangan minerba yakni pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), pemberian Izin Usaha Pertambangan (UIP), dan pengaturan seluruh kegiatan pengelolaan pertambangan.
Wewenang itu dapat berupa kegiatan penyelidikan, pengelolaan dan pengusahaannya dengan cakupan kegiatan usaha pertambangan mulai dari penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.
Sementara isu-isu strategis di bidang pertambangan minerba yang patut disikapi pemerintah provinsi antara lain, optimalisasi potensi usaha penambangan lokal, penyelesaian konflik tambang, dan keterbukaan informasi publik atau jaminan transparansi. (*)