NTB MASIH MENGHENTIKAN PENERBITAN IUP MINERBA

id

     Mataram, 8/5 (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat masih menghentikan penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, karena belum ada regulasi pendukung Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

     "Sudah dua tahun terakhir ini Pemprov NTB tidak menerbitkan IUP baru, yang berarti  moratorium masih berlanjut," kata kata Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Nusa Tenggara Barat (NTB) Eko Bambang Sutedjo, di Mataram, Selasa.  

     Eko mengemukakan hal itu guna mempertegas jawabannya atas permintaan anggota DPRD NTB dalam pernyataan pers bahwa Pemprov NTB harus memberlakukan moratorium penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Batubara (Minerba).

     Ia mengatakan, memberlakukan moratorium penerbitan IUP tidak mesti karena pada dasarnya para kepala daerah belum boleh menerbitkan IUP minerba, sebab belum ada regulasi pendukung Undang Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba.

     Dalam UU Minerba itu, penerbitan IUP boleh dilakukan setelah ada penetapan wilayah pertambangan dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

     "Sampai sekarang, belum ada satu daerah pun di Indonesia yang ditetapkan wilayah pertambangannya oleh Menteri ESDM Jero Wacik. Tentu belum boleh ada penerbitan IUP," ujarnya.

     Menurut Eko, Menteri ESDM yang berkewenangan menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) di wilayah provinsi, namun baru akan menetapkan WP itu setelah mendapat persetujuan dari DPR.

     Setelah penetapan WP baru ditindaklanjuti dengan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WP) yang berlokasi di kabupaten/kota.

     Awal 2011 lalu, Pemerintah Provinsi NTB mengajukan usulan penetapan WP kepada Kementerian ESDM sebagai tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan dan PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.

     Luas WP yang direncanakan Pemprov NTB yakni 891.590 Hektare atau 44,24 persen dari total luas daratan NTB).

     Rinciannya, WP di dalam kawasan hutan seluas 479.311,13 Hektare (53,75 persen) dan WP di luar kawasan hutan seluas 412.278,87 hektare (46,25 persen).

     Sementara luas wilayah izin untuk seluruh kawasan andalan darat mencapai 569.125,55 Hektare atau 28,24 persen luas daratan Provinsi NTB).

     Luas WP akan berkurang seiring dengan perubahan status pengusahaan dari tahapan eksplorasi ke operasi produksi dan kontribusi sektor pertambangan pada pembentukan PDRB NTB.

     Sejauh ini, jumlah izin usaha pertambangan mineral logam di NTB sampai posisi Juni 2011, yaitu dua Kontrak Karya (KK), enam Kuasa Pertambangan(KP), 68 IUP.

     Adapun jenis komoditi yang termasuk dalam kontrak, yaitu emas (Au), tembaga (Cu), perak (Ag), mangan (Mn), pasir besi dan bijih besi (Fe), timah hitam (Pb).

     Pada Maret 2010 Pemprov NTB juga mengajukan usulan penetapan dua lokasi WPR, yakni Pegunungan Sekotong untuk Pulau Lombok dan kawasan tambang di sekitar usaha penambangan yang dikelola PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Kabupaten Sumbawa Barat, untuk Pulau Sumbawa.

     Usulan ke Kementerian ESDM itu merupakan tindak lanjut dari usulan Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sumbawa Barat.

     "Setelah dikaji di Kementerian ESDM kemudian direkomendasikan ke DPR untuk mendapat persetujuan, namun hingga kini DPR belum merampungkan kajiannya sehingga belum ada persetujuan," ujarnya.

     Menurut Eko, penetapan WPR itu dipandang penting karena sejauh ini aktivitas penambangan tradisional di Pulau Lombok dan Sumbawa dikategori ilegal.

     Padahal, ribuan orang terus beraktivitas secara tradisional di sejumlah lokasi penambangan dalam wilayah NTB seperti di Pegunungan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat dan di Pegunungan Olat Labaong, Kabupaten Sumbawa.

     "Agar ada kejelasan dalam pengelolaan dan pengawasannya, kami mengusulkan dua lokasi penambangan untuk ditetapkan sebagai kawasan penambangan rakyat atau WPR," ujarnya. (*)