Palembang (ANTARA) - Budayawan Palembang Kemas Ari Panji menilai aksi tawuran di ibu kota Provinsi Sumatera Selatan tidak bisa dikaitkan dengan budaya warga setempat dalam hal membawa pisau atau sejenisnya saat berkegiatan.
Menurut Kemas Ari saat dikonfirmasi di Palembang, Selasa, aksi tawuran itu adalah ulah oknum yang sengaja berbuat kerusuhan di tengah masyarakat baik berlatar masalah antarpribadi atau pun kelompok.
Sementara, budaya membawa pisau atau senjata tajam itu semata adalah kebiasaan warga Palembang masa lampau untuk kepentingan berkebun, berternak dan semacam-nya. Kemudian budaya atau kebiasaan itu pun, lanjutnya, sudah mulai ditinggalkan warga Palembang karena tidak relevan lagi mereka terapkan melihat Palembang yang sudah metropolis atau maju.
“Jadi tidak bisa serta-merta hal ini (tawuran) dikaitkan dengan budaya masyarakat Palembang membawa pisau dulu, motifnya berbeda, ya jelas, jangan kita asumsikan sama,” kata dia.
Ia menjelaskan, sejatinya masyarakat Palembang ini menganut falsafah hidup pentingnya keguyuban dan kerukunan antarsesama. Falsafah hidup itulah yang terus dipegang masyarakat mulai baik dari era Kerajaan Sriwijaya dengan corak agama Budha, Kesultanan Palembang Darussalam bercorak Islam sampai saat ini sehingga Palembang menjadi kota maju dengan masyarakat yang heterogen.
Hanya saja, ia menyebutkan, sempat ada pergerseran tren bermasyarakat, yang mana sekitar dekade 1970 sampai dengan 1990 aksi premanisme di Palembang mengalami peningkatan dampak gejolak sosial-politik-ekonomi nasional. Saat itu, aksi kejahatan seperti penjarahan, pembakaran ataupun lainnya cukup sering ditemukan di Palembang, sehingga atas hal tersebut masyarakat berkeyakinan membawa senjata tajam pisau menjadi keharusan untuk menjaga diri.
Ia menyatakan, dari situ pula pihaknya menyakini lahir perbuatan “tujah” (istilah untuk perbuatan menusuk seseorang dengan pisau) sebagai pemicu aksi tawuran antarwarga untuk menyelesaikan permasalahan, mengeser budaya bermusyawarah yang kental.
“Apapun itu sekali lagi tawuran/kerusuhan bersenjata tajam bukanlah budaya Palembang. Jangan pula insiden dekade 70-an hingga 90-an dibiarkan diadopsi masyarakat,” ujar Kemas Ari, yang juga Dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.
Baca juga: DKI Jakarta tetapkan rumah Ibu Fatmawati menjadi cagar budaya
Baca juga: Pengrajin tenun revitalisasi songket canduang bangkitkan budaya
Untuk itu, ia mengharapkan adanya upaya penebalan tindakan preventif mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum hingga melibatkan segenap elemen masyarakat untuk menekan aksi tawuran bersenjata tajam di Palembang ini.
Adapun diketahui berdasarkan catatan kepolisian selama Februari 2022 – Januari 2023 ini setidaknya ada 20 kasus aksi tawuran bersenjata tajam di Palembang. Aksi tawuran tersebut memiliki berbagai motif mulai dari ketersinggungan, saling sindir, hingga aksi kejahatan begal bermodus tawuran. Tragisnya dari puluhan kasus tersebut sebanyak lima orang warga menjadi korban luka-luka yang cukup parah. Bahkan satu di antaranya meninggal dunia, yakni seorang remaja pria berinisial FAP (19).