RATUSAN WARGA LOMBOK BARAT TOLAK EKSEKUSI TANAH

id

     Lombok Barat, 14/5 (ANTARA) - Ratusan warga Dusun Duduk, Desa Batulayar, Kecamatan Batulayar, Lombok Barat (Lobar), Nusa Tenggara Barat (NTB) menolak eksekusi tanah seluas 35 hektare yang akan dilakukan Pengadilan Negeri Mataram, Kamis.

     Ratusan warga termasuk di antaranya ibu-ibu dan anak-anak itu melakukan aksi penolakan dengan membawa bambu runcing serta senjata tajam berupa tombak dan parang.

     Aksi penolak juga dilakukan dengan cara menutup jalan menuju Dusun Duduk dengan menggunakan kayu dan pepohonan untuk menghadang agar kendaraan tim eksekutor agar tidak bisa memasuki ke lokasi tanah sengketa.

     Selain menolak eksekusi tanah, mereka juga meminta dan mendesak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lobar dan Pemerintah Provinsi NTB untuk membatalkan sertifikat tanah yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lobar pada 2004 atas nama Pura Giri Natha.

     Salah seorang warga yang menjadi juru bicara dari ratusan warga Dusun Duduk, Junaidi mengatakan penolakan itu dilakukan karena mereka tinggal dan menggarap tanah setempat sudah puluhan tahun.

     "Kami warga Duduk akan mempertahankan tanah hak milik kami karena sudah menyangkut persoalan martabat dan hak hidup kami atas tanah yang sudah turun-temurun kami kuasai dan miliki," katanya.

     Menurut dia, sebanyak 75 kepala keluarga (KK) yang tinggal di Dusun Duduk itu merupakan keturunan generasi kelima.

     Di lokasi tanah yang disengketakan tersebut, selain dihuni 75 KK, juga terdapat dua buah masjid permanen.

     Aksi penolakan warga terhadap rencana eksekusi tanah di Dusun Duduk ini juga karena warga selalu kalah dalam proses hukum untuk mempertanyakan keabsahan sertifikat atas nama Pura Giri Natha.

     Langkah-langkah hukum yang sudah ditempuh warga dengan melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Mataram, selalu kalah. Demikian pula di tingkat Pengadilan Tinggi, bahkan Kasasi, tetap kalah.

     "Semuanya itu gagal karena kami tidak punya biaya untuk mengawal proses peradilan yang demikian panjang dan butuh waktu lama," katanya.

     Ia mengatakan sertifikat hak milik (SHM) Nomor 1867 dan SHM Nomor 1868 dibuat berdasarkan sporadis yang dimohon I Made Krasthe kepada penjabat sementara kepala desa H Burhanudin disaksikan I Ketut Ardane dan Ketut Sudiana.

     Dalam sporadis itu asal tanah tersebut diberikan oleh Raja Lombok pada 1800, namun dalam penelusuran warga, sporadis ini adalah berupa coretan-coretan tanpa tanda tangan maupun cek fisik seperti layaknya pembuatan sporadis.

     Demikian juga dengan nomor register, dan tidak pernah ada pengumuman di kantor kepala desa.

     "Yang lebih janggal lagi adalah SHM Nomor 1867 diterbitkan tanggal 22 Juli 2004, dan SHM Nomor 1868 diterbitkan pada 23 Juli 2004, sedangkan sporadis tertanggal 28 Agustus 2004, mestinya yang lebih dulu terbit adalah sporadis yang menjadi dasar pembuatan sertifikat bukan sertifikat," katanya.

     Aksi penolakan ini berakhir dengan damai setelah Kapolsek Senggigi AKP I Made Pujiwati dan Camat Batulayar Agus Gunawan serta sejumlah tokoh masyarakat memberi pengarahan kepada warga dengan memberikan surat rekomendasi penundaan eksekusi dari Pengadilan Negeri Mataram. (*)