Pengembangan potensi panas bumi membutuhkan percepatan

id Panas bumi,Pembangkit listrik panas bumi,ReforMiner Institut,Dewan Energi Nasional,EBT

Pengembangan potensi panas bumi membutuhkan percepatan

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lahendong yang dioperasikan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) di Sulawesi Utara. ANTARA/HO-Pertamina.

Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan realisasi penggunaan energi panas bumi di Indonesia baru sekitar 3.000 Megawatt (MW) dari total potensi yang mencapai 24.000 MW, sehingga perlu ada penetrasi untuk percepatan kemampuan Indonesia dalam implementasi panas bumi.

“Bisa dibayangkan panas bumi yang belum banyak dikembangkan itu berkontribusi 5 persen di tahun 2060 dalam bauran energi secara keseluruhan,” jelas Satya dalam webinar “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060” yang digelar Reforminer Institute di Jakarta, Senin.

Satya menuturkan ada beberapa langkah untuk mempercepat monetisasi potensi panas bumi. Pertama adalah harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek. Tarif harus sesuai dengan keekonomian proyek dan terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi.

Selain itu, lanjut dia, perizinan harus ada keselarasan peraturan di tingkat yang lebih tinggi terkait izin amdal, izin kehutanan (IPPKH/IPJLPB), dan perizinan sumber daya alam.

"Agar pengeboran panas bumi lebih efisien, diusulkan untuk membentuk konsorsium/koperasi rig khusus panas bumi  serta untuk meningkatkan nilai keekonomian, diharapkan efisiensi biaya dan insentif agar tarif lebih kompetitif," jelas Satya.



Yudha mengatakan kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi (PLTP) Indonesia berada di peringkat kedua di bawah Amerika Serikat dan pertama di Asia. Namun kapasitas terpasang PLTP di Indonesia masih rendah.

“Kontribusi PLTP di Filipina dan Selandia Baru lebih tinggi baurannya daripada PLTP di Indonesia,” katanya.

Pembicara lainnya, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Julfi Hadi mengatakan masalah yang dihadapi dalam pengembangan panas bumi di Tanah Air tidak berubah dan berkutat pada masalah yang itu saja. Berbagai upaya yang sudah ditempuh belum bisa memberikan hasil yang optimal.

API kini memiliki pendekatan baru untuk bisa meminimalkan berbagai kendala tersebut. Utamanya adalah kolaborasi yang wajib dilakukan antara badan usaha serta stakeholders lain seperti pemerintah. Selanjutnya adalah business model yang perlu diperbarui, penggunaan teknologi sehingga mampu mempercepat Commercial of Date (CoD) proyek panas bumi serta ada pengembangan secondary product seperti hidrogen.

“Kolaborasi dengan pemerintah dan PLN bicara mana insentif paling perlu. Pemerintah serius tapi harus duduk bersama," jelas Jufli.



Direktur Eksekutif ReforMiner Institut Komaidi Notonegoro mengatakan hingga saat ini industri panas bumi adalah satu-satunya industri energi baru terbarukan yang memberikan kontribusi secara langsung terhadap Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam APBN.

Sejak 2010 hingga 2022, penerimaan negara dari panas bumi terus meningkat. Jika pada 2010, PNBP panas bumi baru Rp343 miliar, meningkat jadi Rp882 miliar pada 2015 dan pada 2018 bahkan menembus Rp2,28 triliun. Pada 2019 dan 2020 hingga 2021 fluktuasi, naik lagi PNBP dari panas bumi pada 2022 menjadi Rp2,8 triliun.

“Dibandingkan EBT lain, panas bumi banyak keunggulan. Selain tidak bergantung cuaca, panas bumi menghasilkan energi yang lebih besar untuk periode produksi yang sama serta memiliki capacity factor yang lebih besar,” katanya.

Di sisi lain, lanjut Komaidi, biaya operasi PLTP tercatat sebagai salah satu yang termurah. Rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional pada 2021 sebesar Rp1.391,08 per Kwh sedangkan rata-rata operasi PLTP pada tahun yang sama Rp107,15/KWH atau 7,70 persen dari rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional.

Komaidi menjelaskan pengembangan industri panas bumi di Indonesia dihadapkan sejumlah kendala, antara lain sulit terjadi kesepakatan harga jual-beli antara pengembang panas bumi dan PLN. Selain itu, kebijakan eksisting mengharuskan harga listrik EBT bersaing dengan pembangkit fosil.

Jumlah Lembaga keuangan yang bersedia memberikan pinjaman pada fase eksplorasi pun masih terbatas, selain perizinan jadi masalah karena wilayah kerja berada di hutan konservasi.

“Dibandingkan Amerika Serikat dan Filipina kita kurang atraktif, terutama dalam pemberian stimulus fiskal kepada pengembang panas bumi,” katanya.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Edy Soeparno mengatakan, hingga akhir 2021 teridentifikasi 356 lokasi panas bumi di seluruh Indonesia yang membentang mulai dari Pulau We di ujung Barat hingga Pulau Papua di ujung Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil-hasil penyelidikan geologi, geokimia, geofisika dan pengeboran, yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun badan usaha.

Rincian distribusi daerah panas bumi di Indonesia adalah Pulau Sumatra (101 lokasi), Pulau Jawa (75 lokasi), Pulau Bali (6 lokasi), Kepulauan Nusa Tenggara (34 lokasi), Pulau Kalimantan (14 lokasi), Pulau Sulawesi (90 lokasi), Kepulauan Maluku (33 lokasi) dan Papua (3 lokasi).

Hasil rekapitulasi dan pemutakhiran neraca sumber daya dan cadangan panas bumi hingga Desember  2021 diperoleh total sumber daya sebesar 23.356,9 MWe dengan cadangan sekitar 14.131,9 Mwe.

Menurut dia, panas bumi adalah salah satu energi baru dan terbarukan (EBT) yang potensial dan memiliki peran penting dan strategis dalam mendukung transisi dan ketahanan energi masa depan.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, terlihat peran strategis panas bumi, di mana penambahan kapasitas pembangkit listrik dari panas bumi masuk tiga besar dengan proyeksi penambahan sebanyak 3.355 MW.

Berdasarkan target bauran EBT sebesar 23 persen di tahun 2025, pengembangan PLTP memiliki porsi sekitar 7 persen dari total target atau setara dengan 7,2 GW. Dengan target capaian kapasitas terpasang PLTP tahun 2023 sebesar 2,37 GW tersebut, diperlukan upaya pengembangan proyek PLTP sebesar 4,8 GW untuk mencapai target 7,2 GW di tahun 2025.

“Artinya progres pengembangan PLTP masih sangat lambat, padahal PLTP diharapkan menjadi salah satu backbone kelistrikan masa depan yang berasal dari sumber energi bersih,” ujar Eddy.

Baca juga: Panas bumi merupakan energi terbarukan paling potensial
Baca juga: Pembangkit geotermal Kamojang Jabar pelopor pemanfaatan energi berkelanjutan


Upaya penciptaan nilai panas bumi di Indonesia dapat dilakukan melalui penyiapan skema insentif atau pengaturan tarif yang mempertimbangkan keekonomian proyek PLTP. Edy mencontohkan nilai keekonomian proyek panas bumi global di bawah 10 sen dolar AS per kWh), sedangkan di Indonesia di kisaran 10 - 13 sen dolar AS per kWh.