Jakarta (ANTARA) - Racheal Kundananji, striker Real Madrid, sedang keluar makan malam di Madrid ketika panggilan mengikuti sebuah pertemuan muncul dari layar ponselnya.
Dia bergegas kembali ke apartemennya guna mengikuti rapat online bersama Chris Atkins yang menjadi agennya dan Lucy Rushton yang menjabat general manager klub Bay FC dalam liga sepak bola putri Amerika Serikat (NWSL).
Ketiganya berada di tiga benua berbeda, Kundananji di Eropa, Atkins di Asia, dan Rushton di California, Amerika Serikat. Dalam rapat itu Rushton memberi tahu pemain timnas putri Zambia berusia 23 tahun tersebut bahwa nilai transfernya dari Madrid ke Bay FC yang mencapai 735 ribu euro (Rp12,5 miliar) menjadi patokan baru dalam sepak bola putri dunia.
Pada 14 Februari Kundananji resmi mengikat kontrak dengan Bay FC untuk menjadi pesepak bola putri berbayaran paling mahal di dunia.
Meminjam laporan ESPN beberapa hari lalu, angka itu melewati rekor sebelumnya, 450 ribu euro (Rp7,68 miliar), yang dikeluarkan Chelsea untuk merekrut striker Mayra Ramirez dari Kolumbia pada 26 Januari, juga tahun ini. Pelan tapi pasti, bayaran sepak bola putri profesional terus naik, kendati masih jauh di bawah sepak bola putra.
Kini orang menantikan bayaran itu menembus angka 1 juta, entah itu euro atau dolar AS. Para pemain, direktur olahraga dan agen sendiri, beranggapan batas angka 1 juta tak akan lama lagi tercapai dan terlewati.
Ada yang menyebut musim panas tahun ini, tapi ada juga yang menilai bayaran yang diterima Kundananji telah membuat pasar transfer sepak bola putri telah membuka lebar-lebar segala kemungkinan.
Pergeseran nilai transfer terjadi kian singkat, tak lagi memakan waktu bertahun-tahun. Ini menandakan sepak bola putri semakin atraktif, termasuk dari sudut industri.
Manakala Rayo Vallecano menarik Milene Domingues dari Fiammamonza di liga profesional putri Italia dengan bayaran 235 ribu euro pada 2002, butuh waktu 18 tahun untuk melampaui nilai transfer itu.
Faktor Piala Dunia 2023
Gelandang Denmark, Pernille Harder, yang didatangkan Chelsea dari Wolfsburg pada 2020 adalah yang memecahkan rekor bayaran termahal Milene Domingues itu. Harder ditarik Chesles dengan bayaran 250 ribu euro (Rp4,27 miliar).
Dua tahun kemudian angka ini dipecahkan oleh Keira Walah saat dibeli Barcelona dari Manchester City pada harga 350 ribu euro (Rp5,98 miliar), yang dua tahun kemudian pada 2024 disalip lagi oleh Ramírez dan Kundananji.
Kundananji mungkin bisa menjadi pemain yang mendekatkan sepak bola putri untuk "pecah telor" dalam bayaran termahal baru yang menyentuh angka 1 juta. Dia akan seperti legenda sepak bola putra Johan Cruyff ketika memecahkan bayaran termahal di dunia pada 1973, sewaktu dibayar Barcelona dari Ajax pada harga 2 juta dolar AS. Itu pertama kalinya pesepak bola putra dibayar di atas 1 juta dolar.
Tapi sejak 2017, nilai bayaran sepak bola putra semakin kencang menanjak, sampai pada taraf gila-gilaan, ketika Paris Saint Germain mendatangkan Neymar dari Barcelona pada harga 222 juta euro (Rp3,79 triliun).
Pertanyaannya, apakah kenaikan bayaran sepak bola putri ini menunjukkan sepak bola putri semakin kompetitif dan menarik? Tentu saja ya, apalagi jika melihat luasnya liputan media untuk sepak bola putri, termasuk di tingkat klub.
Tapi hal itu terjadi tak begitu lama karena baru terjadi tahun-tahun belakangan ini, termasuk akibat Piala Dunia 2023 yang digelar di Selandia Baru dan Australia. Banyak pengamat dan pemangku kepentingan sepak bola global menilai Piala Dunia Putri 2023 menjadi momentum penting sepak bola putri. Dari sinilah sepak bola putri mengawali masa yang jauh lebih menarik dan kompetitif.
Turnamen yang diikuti 32 tim dari berbagai belahan dunia itu menunjukkan kualitas sepak bola putri yang semakin meningkat, kompetitif, dan kian menarik. Ketika Piala Dunia Putri 1991, perbedaan antar-tim begitu lebar, sampai Amerika Serikat memenangkan enam laga dengan selisih gol 25-3.
Negara Paman Sam itu mendominasi turnamen itu dari waktu ke waktu.
Semakin merata
Namun dominasi Amerika Serikat dan kesenjangan kualitas antar tim sudah tak terlihat lagi, terutama pada Piala Dunia 2023, di mana AS disingkirkan oleh Swedia pada babak 16 besar yang menguatkan sudah meratanya kualitas sepak bola putri.
Untuk pertama kalinya AS yang sudah empat kali menjuarai Piala Dunia Putri, tersingkir lebih cepat dari Piala Dunia. Prancis menjuarai turnamen itu setelah mengalahkan Inggris dalam laga final yang berkesudahan 1-0.
Namun sepak bola profesional putri masih relatif baru dan belum sekelas sepak bola putra. Piala Dunia 2023 saja, dari semua pemain yang mengikuti turnamen ini hanya 40 persen yang merupakan pemain profesional.
Lebih menyedihkan lagi, menurut survei yang dilakukan Fifpro, 30 persen dari pemain-pemain Piala Dunia 2023 tak mendapatkan bayaran dari federasi sepak bolanya. Para atlet sepak bola putri di negara-negara miskin bahkan jauh lebih buruk lagi. Kebanyakan mereka bermain tidak sesering rekan-rekannya di Eropa. Ini membuat mereka tertinggal dari yang lain.
Baca juga: PSSI sebut berkomitmen membangun klub sepak bola putri
Baca juga: Timnas putri Indonesia kalahkan Timor Leste 7-0pada Piala AFF U-19 2023
Misalnya, skuad putri Timnas Nigeria yang sektor putranya begitu perkasa, hanya bermain 40.000 menit sebelum berlaga dalam Piala Dunia 2023. Angka ini sepertiga waktu yang dihabiskan rekan-rekannya di Inggris dan Spanyol.
Meski begitu, potensi sepak bola putri tetap besar, bahkan menawarkan peluang kepada negara-negara yang tim putranya terlalu sulit menembus level atas kompetisi internasional. Lihat saja, Norwegia yang tim putranya jarang terlibat dalam level puncak sepak bola global dan regional, malah pernah menjuarai Piala Dunia Putri 1995.
Amerika Serikat yang juara empat kali Piala Dunia Putri dan Jepang yang menjuarai edisi 2011 di Jerman, juga jarang tampil sampai level puncak dalam sepak bola kelas atas seperti Piala Dunia FIFA. Dari 9 Piala Dunia Putri yang digelar sejak 1991, baru Jerman dan Spanyol yang menyandingkan kesuksesan di sektor putra dengan sektor putrinya.
Ini menjadi petunjuk, sepak bola putri bisa dimenangkan oleh siapa pun, dan menjadi medan baru bagi negara mana pun. Namun begitu, profesionalisme tetap menjadi bekal terpenting untuk menggapai sukses sepak bola.