Jakarta (ANTARA) - Berusia lanjut atau lansia bukan berarti hidup dalam kondisi sakit parah, lalu tak mampu mandiri, apalagi produktif alias berdaya bagi orang-orang di sekitar. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hadir untuk mewujudkan lansia bisa hidup berkualitas, mandiri, dan berdaya.
Pengelola Kesehatan Lansia Dinas Kesehatan DKI Jakarta Hendi Prasetyo mencatat terdapat sekitar 998.000 orang lansia di Jakarta pada tahun 2023. Angka ini naik menjadi 1.026.000 orang pada tahun 2024.
Mengetahui hal tersebut, pemerintah menyiapkan layanan kesehatan, mulai dari yang bersifat promotif hingga preventif. Penurunan fungsi organ pada lansia terkadang menyebabkan mereka mengalami serangan penyakit. Hanya saja, hal ini bisa dicegah supaya tidak parah dan menjadi beban biaya bagi negara.
Puskesmas, khususnya di DKI Jakarta, yang nantinya hadir menyediakan layanan sesuai siklus kehidupan, diharapkan mampu mencegah atau meminimalkan munculnya penyakit berat pada lansia.
Selain tentang layanan kesehatan, Pemerintah DKI Jakarta juga menyediakan berbagai program lainnya guna memungkinkan lansia berdaya, seperti menyalurkan bakat, bersosialisasi dengan sesama dan berbagi pengalaman pada orang lain di sekitar mereka.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Dinkes DKI Jakarta untuk pemberdayaan lansia di kawasan Cakung, Jakarta Timur. Melalui program itu, sebanyak 70 orang lansia yang didaulat sebagai duta mendapatkan pembekalan dengan kurikulum layaknya di sekolah-sekolah, namun bedanya ini bersifat informal.
Pembekalan ini, antara lain terkait penyaluran kreativitas, keterampilan, hingga isu kesehatan terkini, semisal stunting atau kondisi gagal tumbuh yang mempengaruhi fisik dan otak anak. Semua itu, akibat anak mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu lama.
Lansia dilibatkan untuk membantu mengedukasi masyarakat terkait stunting karena dinilai memiliki jiwa lebih bijak, sabar, dan lebih didengarkan oleh anak, cucu atau orang-orang di sekitar mereka yang lebih muda.
Risiko osteoporosis
Seiring bertambahnya usia, pertumbuhan tulang akan semakin berkurang dan risiko osteoporosis (pengeroposan tulang) bisa mengintai. Tulang keropos terjadi apabila kepadatan dan kualitas tulang berkurang. Seiring waktu, tulang menjadi lebih keropos dan rapuh, maka risiko patah tulang juga meningkat.
Data menunjukkan proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok usia lansia dini (usia 55-65 tahun) daripada lansia lanjut (usia 65-85 tahun).
Meskipun demikian, tidak seperti penyakit yang juga bisa mengintai lansia, semisal diabetes atau hipertensi, saat ini alat skrining untuk osteoporosis masih sedikit. Hingga kini, belum ada fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dengan masyarakat di Jakarta, yakni puskesmas, yang memiliki alat skrining untuk osteoporosis.
Salah satu pemeriksaan tulang guna mengevaluasi kemungkinan terjadinya osteoporosis adalah pengukuran kepadatan tulang atau bone mineral density (BMD). Pemeriksaan ini memanfaatkan teknologi Sinar X untuk mengukur jumlah kalsium dan mineral lain di dalam tulang, khususnya tulang belakang, tulang panggul, dan pergelangan tangan.
Data statistik penduduk usia lanjut 2022 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sekitar 42 persen lansia di Indonesia mengalami keluhan kesehatan yang hilang timbul dan dapat muncul sewaktu-waktu, termasuk menurunnya kepadatan tulang, otot, dan sendi, yang datang secara berkala.
Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (PEROSI) mencatat, sebanyak 1 dari 10 penduduk Indonesia berusia lanjut dan sekitar 2 dari 5 lansia berisiko mengalami osteoporosis.
Karena itu, tidak sedikit dari para lansia juga harus bergelut dengan taraf kalsium dan Vitamin D yang masih kurang cukup. Vitamin D adalah jenis nutrisi yang terbukti secara ilmiah penting bagi kesehatan tulang dan sangat berkorelasi dengan osteoporosis.
Selain itu, merujuk Kementerian Kesehatan, ada sejumlah faktor lain yang bisa mengantarkan seseorang pada risiko osteoporosis, antara lain konsumsi minuman mengandung alkohol dan kebiasaan merokok.
Konsumsi minuman beralkohol, yakni lebih dari dua unit per hari, dapat meningkatkan risiko osteoporosis dan fraktur panggul, baik pada wanita maupun pria.
Sementara itu, merokok bisa menyebabkan hormon estrogen, yakni hormon reproduksi yang menjaga kesehatan tulang dalam tubuh, menjadi berkurang. Di sisi lain, efek racun dari rokok memperlambat pembentukan sel tulang yang baru dengan menghambat kerja hormon calcitonin, sehingga sel tulang yang sehat menjadi lebih sedikit.
Penyebab lainnya adalah kurangnya aktivitas fisik, sehingga mudah terjadi keropos tulang pada usia lanjut.
Di sisi lain, khususnya pada wanita, kondisi menopause menjadi faktor risiko. Kadar hormon estrogen menurun saat menopause dan ini mempengaruhi kemampuan pembentukan tulang.
Inilah alasan tulang wanita dikatakan lebih cepat keropos daripada pria dan pada wanita yang mengalami osteoporosis, tulang mudah patah walaupun hanya karena cedera ringan.
Oleh karena itu, demi terhindar dari patah tulang saat berusia lanjut, seseorang, sedari muda disarankan berolahraga teratur, menerapkan diet sehat yang kaya nutrisi untuk tulang, menghindari gaya hidup tidak sehat, mendeteksi sejak dini faktor risiko. Apabila seseorang berisiko tinggi, maka sebaiknya menjalani pemeriksaan dan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Lalu, apabila seseorang, termasuk lansia, sudah telanjur mengalami osteoporosis, maka penanganan yang dapat dilakukan, antara lain dengan pemberian obat serta pemberian asupan nutrisi yang cukup.
Asupan nutrisi yang dimaksud, termasuk cairan dua liter per hari, makanan tinggi kalsium 1000-1200 mg/hari, makanan dengan fitoestrogen, seperti kedelai tempe, tahu, makanan tinggi protein, seperti ikan, Vitamin D 800-1000 IU per hari dan Vitamin A di bawah 10.000 IU per hari. Selain itu, pasien osteoporosis juga disarankan berjemur di atas pukul 10.00 WIB selama 20 menit.
Pasien juga perlu menjalani latihan fisik dan rehabilitasi untuk penguatan otot dan tulang, lalu mencegah jangan sampai jatuh karena bisa berakhir dengan tindakan operasi.
Kalau sudah terjadi patah tulang, pembedahan dan prosesnya memerlukan waktu yang panjang
Mengalami usia lanjut tidak bisa dicegah, namun bukan berarti risiko masalah kesehatan saat usia senja tidak bisa dihindari. Di sisi lain, pemerintah hadir membantu lansia untuk hidup berkualitas.