Jakarta (ANTARA) -
Dosen Departemen Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI) Dr. Meutia Irina Mukhlis menilai perlu adanya aturan pemilu tentang perilaku pejabat petahana sebagai solusi jangka pendek demi menjaga kualitas dan netralitas pemilu.
"Pertama, untuk jangka pendek, kita perlu memperjelas lagi aturan pemilu tentang perilaku pejabat petahana demi menjaga kualitas dan netralitas pemilu dan demokrasi di masa mendatang," kata Meutia dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.
Hal itu disampaikan-nya menanggapi pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024, Jakarta, Senin, yang mengatakan dukungan (endorsement) Presiden terhadap pasangan calon tertentu bukan tindakan melanggar hukum, namun dapat menjadi dianggap bermasalah secara etik.
Adapun solusi jangka panjang, lanjut dia, dibutuhkan perubahan dalam tataran kesadaran moral untuk tidak menolerir praktik-praktik kecurangan hingga korupsi dalam kehidupan sehari-hari.
"Kedua, pada saat yang sama, harus juga mau mengubah budaya kita yang cenderung toleran terhadap praktik korupsi atau kecurangan agar karakter budaya kita dan masyarakat Indonesia bisa disembuhkan dari penyakit ini dan menjadi lebih baik lagi di masa depan. Agar kesadaran moral kita lebih baik lagi di masa depan. Ini adalah misi bangsa kita pada jangka panjang," ujarnya.
Sebelumnya, MK saat sidang pembacaan putusan PHPU Pilpres 2024 yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Senin, menyatakan dukungan (endorsement) dari Presiden terhadap pasangan calon tertentu bukan tindakan melanggar hukum, namun dapat dianggap bermasalah secara etika.
"Dari sisi hukum positif mengenai pemilu, saat ini, pola 'komunikasi pemasaran' juru kampanye yang melekatkan citra dirinya kepada kandidat/paslon tertentu, bukanlah tindakan yang melanggar hukum. Namun, endorsement atau perlekatan citra diri demikian sebagai bagian dari teknik komunikasi persuasif, potensial menjadi masalah etika manakala dilakukan oleh seorang presiden yang notabene dirinya mewakili entitas negara, di mana seharusnya presiden bersangkutan berpikir, bersikap, dan bertindak netral," kata Hakim MK Ridwan Mansyur.
Dia mengatakan MK memandang mutlak diperlukan kerelaan presiden petahana untuk menahan/membatasi diri dari penampilan di muka umum yang dapat diasosiasikan/dipersepsikan oleh masyarakat sebagai dukungan bagi salah satu kandidat atau pasangan calon dalam pemilu.
"Kesediaan/kerelaan presiden yang demikian, serta kerelaan para petahana di level masing-masing yang menghadapi kemiripan situasi dengan kondisi pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2024 ini merupakan faktor utama bagi terjaga-nya serta meningkatnya kualitas demokrasi Indonesia," paparnya.
Meski demikian, Ridwan mengatakan perihal kerelaan tersebut merupakan ranah moralitas, etis, ataupun fatsun sehingga tidak bisa dikenakan sanksi hukum kecuali telah terlebih dahulu dikonstruksikan sebagai norma hukum larangan oleh pembentuk undang-undang.
Baca juga: Mahfud Md: Sepanjang sejarah, baru hari ini ada "dissenting opinion" di sidang PHPU
Baca juga: PPP sampaikan selamat ke Prabowo-Gibran usai putuskan MK
"Mahkamah tidak menemukan landasan hukum untuk dilakukan tindakan terkait dengan ketidaknetralan Presiden yang mengakibatkan keuntungan bagi pihak terkait. Sekali lagu karena tolok ukur atau parameter ketidaknetralan Presiden dalam pemilu termasuk wilayah etik belum diatur tegas dalam peraturan perundang-undangan," kata dia.
Dia melanjutkan bahwa perubahan paradigma mengenai netralitas kekuasaan eksekutif demi mewujudkan pemilihan umum yang jujur dan adil harus dilakukan melalui perubahan atas undang-undang mengenai kepemiluan, sebagaimana telah disinggung dalam pertimbangan hukum sebelumnya.
MK memutuskan menolak seluruh permohonan yang diajukan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta Ganjar Pranowo-Mahfud Md dalam perkara PHPU Pilpres 2024.