"Ramuan obat itu diwariskan secara turun temurun. Dengan kekayaan itu tentu kita negara kedua tertinggi (keanekaragaman hayati) setelah Brazil," kata Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Sofa Fajriah saat ditemui di Puspiptek Serpong, Tangerang, Selasa.
Sofa menuturkan Indonesia punya peluang yang terbuka lebar untuk mengembangkan maupun memanfaatkan kekayaan biodiversitas tersebut, salah satunya obat berbahan alam.
Beberapa obat bahan alam yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan BRIN, di antaranya obat pemulihan kesehatan hingga pencegahan penyakit. Obat-obatan herbal itu dihasilkan dari tumbuhan, seperti pegagan, benalu, kunyit, sambiloto, dan lain sebagainya.
Kesadaran masyarakat yang meningkat terhadap pentingnya kesehatan berpengaruh terhadap penggunaan obat herbal yang dimanfaatkan oleh masyarakat secara turun temurun.
Saat ini jumlah obat herbal terstandar di Indonesia ada 77 produk dan jumlah fitofarmaka hanya 21 produk. Jumlah itu terbilang masih sedikit jika dibandingkan dengan potensi tanaman obat dan biodiversitas yang dimiliki oleh Indonesia.
Kini bahan baku obat dan obat tradisional tidak hanya dimanfaatkan dalam aspek medis saja tetapi juga sektor non-medis.
Baca juga: BRIN to hold InaRI Expo from Aug 8--11
Baca juga: BRIN perluas kemitraan riset dan inovasi di WWF 2024
Baca juga: BRIN to hold InaRI Expo from Aug 8--11
Baca juga: BRIN perluas kemitraan riset dan inovasi di WWF 2024
"Jamu juga banyak digunakan di non-kesehatan, misalnya industri, pariwisata, ekonomi kreatif, sosial-budaya, kecantikan, kebugaran," kata Sofa.
Lebih lanjut dia mengungkapkan bahwa Indonesia mengimpor bahan baku obat sampai 90 persen. Optimalisasi tanaman obat diproyeksikan mampu mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat dari negara lain.
Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan bahan baku obat dan tanaman obat di Indonesia saat ini adalah bahan baku terstandarisasi dan suplai bahan baku untuk produksi.