KBRI Beijing silaturahmi warga "guiqiao"

id beijing,china,guiqiao,migrasi,tiongkok,kbri beijing,djauhari oratmangun

KBRI Beijing silaturahmi warga "guiqiao"

Duta Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun (kedua dari kiri) menerima kenang-kenangan berupa lukisan dari perwakilan perkumpulan "guiqiao" Li Kuitang (kedua dari kanan) di Wisma Indonesia, KBRI Beijing, China pada Jumat (9/8). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Beijing (ANTARA) - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing menggelar silaturahmi bersama dengan masyarakat "guiqiao" atau "friends of Indonesia" menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI.

"Memang tradisi kami di sini adalah mengundang 'friend of Indonesia' sebelum 17 Agustus, meski hujan lebat tapi kami senang tetap banyak yang datang dan kita bisa sama-sama menikmati masakan Indonesia," kata Duta Besar RI untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun di Wisma Indonesia, kompleks KBRI Beijing, China pada Jumat malam.

"Guiqiao" merujuk kepada mereka yang lahir dan telah tinggal di luar China tapi kemudian bermigrasi ke negara asal leluhur mereka. Migrasi ditafsirkan pemerintah China sebagai "kembali ke rumah" atau "gui", sedangkan "qiao" berarti perantau atau orang yang tinggal di luar negeri.

Istilah "guiqiao" ditetapkan oleh pemerintah China merujuk kepada orang China di perantauan yang kembali ke Tiongkok pada periode 1950-1960. Sedangkan istilah "Yinni Guiqiao" merujuk kepada mereka yang lahir atau tinggal di Indonesia kemudian pindah ke China pada tahun tersebut dan kini telah menjadi warga negara China setelah tinggal di Tiongkok selama sekitar 60 tahun.

Hadir sekitar 20 orang "guiqiao" yang sebagian besar berusia lebih dari 80 tahun, ada yang datang bersama pasangan maupun anak-anak mereka.

Selain bersilaturahmi, staf KBRI Beijing, pelajar Indonesia di Beijing dan perkumpulan "guiqiao" juga bernyanyi sejumlah lagu Indonesia, mulai dari Rayuan Pulau Kelapa hingga lagu-lagu tradisional termasuk "Sio Mama", "Lisoi", hingga lagu anak "Pepaya Mangga Pisang Jambu".

Duta Besar Republik Indonesia untuk Tiongkok dan Mongolia Djauhari Oratmangun bernyanyi bersama dengan perkumpulan "guiqiao" di Wisma Indonesia, KBRI Beijing, China pada Jumat (9/8). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Salah seorang "guiqiao" Li Kuitang (83) juga memberikan kenang-kenangan kepada Dubes Djauhari berupa lukisan karya istrinya untuk merayakan HUT ke-79 RI.

"Saya kembali ke China pada 1960, saat berusia 19 tahun," kata Li kepada ANTARA menggunakan bahasa Indonesia.

Li yang sebelumnya tinggal di Bandung, Jawa Barat kemudian melanjutkan sekolah di Beijing dan kemudian bekerja di satu pabrik di Beijing bahkan menikah dengan istrinya yang adalah orang Beijing asli.

Ia mengaku senang bisa datang ke KBRI Beijing setahun sekali untuk bertemu dengan Dubes Djauhari dan staf KBRI maupun berkumpul dengan warga "guiqiao" lainnya.

"Awal mula perkumpulan ini saya tidak tahu, tapi saya diajak orang Bandung juga. Saya senang, kadang kami juga piknik, bisa di Beijing tapi juga ke Hangzhou, Shanghai, sampai Nanjing," tambah Li.

Li pun mengaku sudah pernah beberapa kali mengunjungi Bandung bersama istrinya, setelah kembali ke China. Mengenai lukisan yang diberikan istrinya, Li menyebut sang istri bukanlah pelukis, tapi suka melukis dan pernah belajar melukis.

Sementara Tang, perempuan berusia 83 tahun yang tidak bisa berbahasa Indonesia juga mengaku senang datang ke kegiatan tersebut karena kebetulan berkenalan dengan Benny, mahasiswa Indonesia program doktoral di Universitas Tsinghua, Beijing.

Tang yang menghabiskan masa kecilnya di Palembang, Sumatera Selatan, bertemu dengan Benny yang juga berasal dari Palembang. Teman Tang, ternyata adalah kawan dari ayah Benny yang pernah sama-sama mengurus satu klenteng di Palembang.

Baca juga: Disnakertrans NTB sebut migrasi pekerja pengaruhi validasi data pemilih
Baca juga: GoTo menargetkan migrasi TikTok-Tokopedia selesai 1,5 bulan lagi

Leluhur Tang dan Benny juga sama-sama berasal dari Anxi, provinsi Fujian. Kalangan "guiqiao" kembali ke China didorong dengan berdirinya Republik Rakyat China pada 1949 namun juga kebijakan pemerintah Indonesia saat itu yang ingin "mengembalikan" etnis Tionghoa.

Ada sekitar 600 ribu orang China di perantauan dari Indonesia, Malaysia, Myanmar dan negara lain di Asia Tenggara yang kembali ke China pada periode 1960-an tanpa memandang kewarganegaraan, usia, waktu kepulangan, dan apakah kepulangan tersebut bersifat sukarela atau terpaksa.