Artikel - Maulid ala Bayan Batu Grantung

id Adat Bayan,Maulid Nabi,Pesta rakyat,Kampung Adat

Artikel - Maulid ala Bayan Batu Grantung

Salah seorang tokoh adat tengah memasang sarung yang diikat tali di setiap tiang beruga (gazebo) Agung di Desa Batu Grantung, Bayan, Lombok Utara menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW.

Wetu Telu itu, yakni, tumbuh, bertelur, dan lahir
Kain kafan selesai sudah dipasang mengelilingi Beruga (gazebo) Agung yang berusia ratusan tahun, yang berarti puncak Maulid atau Peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW di Desa Batu Grantung, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, dimulai.

Memang berbeda puncak Maulid di desa yang berada di Kecamatan Bayan tersebut dibandingkan sejumlah daerah masyarakat adat Bayan daerah itu, yakni, digelarnya di beruga seberang bangunan adat. Sedangkan daerah lainnya di depan masjid kuno, seperti Masjid Kuno Bayan Beliq.

Seiring dipasangnya kain, aktivitas memasak para ibu-ibu yang di depan rumah dimulai juga, termasuk menyembelih kambing dan ayam yang merupakan nazar dari warga. Sebelumnya para kaum pria, sudah mengumpulkan kelapa untuk dikupas dan diparut sejak pagi hari.

Tentunya kaum pria selama mengikuti acara itu harus mengenakan pakaian khas Sasak, yakni, apuq atau ikat kepala khas Suku Sasak serta mengenakan sarung batik sasak yang diikat dengan dodot atau ikat pinggang kain. Sedangkan kaum wanita menggunakan sarung sampai dada.

? Celoteh kaum pria menemani mereka sembari memeras parutan kelapa, sedangkan kaum wanita sibuk memasak serta membersihkan beras di sungai. Ada syarat khusus untuk membersihkan beras itu, tidak boleh wanita yang tengah haid. Suasana terasa guyub untuk merayakan puncak Maulid di wilayah masyarakat adat.

"Pemasangan kain kafan berarti dimulainya puncak Maulid, setelah sebelumnya di enam tiang beruga dipasang sarung dan diikat oleh tali terbuat dari benang," kata Raden Nyakrawasih (81), pemuka adat.

Sedangkan di langit-langit beruga, dipasang tali untuk menempelkan kain serta bunga-bunga serta sejumlah aksesoris lainnya. Semuanya penuh simbol tentang Allah SWT.?

Kain kafan berwarna putih yang sudah berusia ratusan tahun itu disebut kain leliur, menyimbolkan bumi, sedangkan bunga-bunga di langit-langit merupakan bintang. "Kain kafan menunjukkan bahwa semua orang akan meninggal dunia," katanya.

Sebelum pemasangan kain kafan yang mengelilingi beruga itu juga, ada enam orang duduk, yakni, kiai, pemangku adat, dan praja mulud atau pemuda adat. Itu menyimbolkan bahwa kedudukan manusia itu sama di mata Allah SWT, katanya.

Mereka yang masuk ke dalam beruga itu juga harus membasuh kakinya sebagai wujud membersihkan diri dari kotoran masuk ke ruangan yang telah dibersihkan sebelumnya.

Setelah beberapa jam kegiatan memasak yang dilakukan kaum wanita, makanan itu dibawa ke dalam beruga dan 11 orang, termasuk kiai dan pemangku adat. Sebelum dimakan berdoa terlebih dahulu, yang didahului permintaan kepada kiai untuk segera dimulainya acara itu dengan menggunakan bahasa Sasak.

Kiaipun memulai pembacaan doa, di antaranya menggunakan ayat Al-Quran serta bahasa Sasak, di ujungnya doa yang disusul diikuti kata "amin" oleh mereka yang di dalam beruga serta di luar beruga.

? Mulailah hidangan dimakan oleh mereka yang ada di dalam beruga, yang sekaligus mengakhiri puncak dari perayaan Maulid. Sedangkan mereka yang tidak masuk ke dalam beruga, akan mendapatkan makan mirip nasi kotak.

Perayaan Maulid di masyarakat adat Bayan sendiri dilakukan pada 15 Rabiul Awal, yang dari tuturan nenek moyangnya bahwa itu merupakan strategi untuk menghindari penjajah Lombok yang tidak menyukai kegiatan Islam.

"Seharusnya maulid itu pada 12 Rabiul Awal, tapi kami menyelenggarakan pada tanggal 15 Rabiul Awal. Ini mengaburkan penjajah bahwa tidak ada kegiatan keagamaan bahkan digelar juga kegiatan peresean (pertarungan menggunakan tongkat rotan dan tameng dari kulit sapi)," katanya.


Keunikan beruga

Beruga agung yang dijadikan tempat kegiatan maulud di Desa Batu Gruntung itu, berbeda dengan beruga masyarakat adat Bayan lainnya karena memiliki delapan tiang, sedangkan umumnya enam tiang.

Perbedaan jumlah tiang itu, diketahui, beruga agung di Desa Batu Gruntung merupakan tempat eksekusi bagi mereka yang berbuat kesalahan saat masih berdirinya Kerajaan Islam Bayan. Kerajaan Islam Bayan itu dipercaya berada di dekat Masjid Kuno Bayan Beliq.

"Desa kami ini, dahulunya tempat pengadilannya. Setelah mereka dinyatakan bersalah oleh pertemuan raja, pemangku adat, kiai, di istana kerajaan Islam, maka seseorang yang dinyatakan bersalah dibawa ke Batu Grantung," ujarnya.

Sehingga tidaklah mengherankan beruga agung yang digunakan itu, hanya di enam tiang saja dan ditutupi kain kafan, sedangkan dua tiang lainnya yang membentuk satu ruangan, tidak digunakan karena dipercaya sebagai tempat eksekusi.

Seperti diketahui masyarakat adat Bayan dikenal dengan pemeluk Islam Wetu Telu yang artinya disebut-sebut bahwa mereka hanya menjalankan salat pada siang hari (zhuhur), sore hari (ashar), dan saat matahari terbenam (maghrib) akibat penyebaran agama Islam di daerah itu tidak sempurna setelah Kerajaan Majapahit runtuh.

Namun, tokoh pemuda adat Bayan, Raden Kertamadji menyatakan tidak benar jika mereka hanya menjalankan ibadah wetu telu tersebut.

"Banyak orang yang salah mengerti, kami tetap menjalankan shalat lima waktu, bahkan ada yang naik haji dan menjadi marbot masjid," katanya.

Pengertian bagi masyarakat Bayan saat ini, kata dia, Wetu Telu itu, yakni, tumbuh, bertelur, dan lahir. "Artinya tumbuh adalah tumbuh-tumbuhan, bertelur adalah binatang dan lahir adalah manusia," katanya.

Artinya, kata dia, ketiganya saling berkaitan dan penciptanya adalah Allah SWT. "Karena itu, kami Islam lima waktu juga, bukan wetu telu," katanya.