Kejaksaan: tidak ada kerugian kasus korporasi Sekaroh

id hutan sekaroh

Kejaksaan: tidak ada kerugian kasus korporasi Sekaroh

Tim jaksa bersama petugas kehutanan, mengecek sarana penunjang milik PT APC yang diduga berada dalam kawasan hutan lindung RTK-15 di Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, NTB, (Foto Antaranews NTB/Ist)

Mataram (Antaranews NTB) - Kejaksaan Negeri Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, menyatakan tidak ditemukan potensi kerugian negara dalam kasus dugaan pidana korupsi korporasi PT Autore Pearl Culture (APC) yang mendirikan bangunan usaha tanpa izin pemerintah di dalam kawasan Hutan Lindung Sekaroh.

"Awalnya bangunan APC di dalam kawasan itu, saya kira ada kerugian negaranya, tapi ternyata tidak. Jadi tidak ada unsur melawan hukumnya, tidak ditemukan kerugian negara," kata Kepala Kejari Lombok Timur Tri Cahyo Hananto yang dihubungi dari Mataram, Senin.

Dari rangkaian penanganan yang telah disimpulkan, tidak ditemukan adanya potensi kerugian negara. Kejari Lombok Timur kemudian menghentikan kasusnya di tahap penyidikan. Untuk peran kedua tersangka pun telah dinyatakan gugur dari seluruh sangkaan.

Begitu juga dengan penjelasan terkait sangkaan pidana terhadap korporasi PT APC yang sudah sepuluh tahun lebih memanfaatkan kawasan hutan tanpa mengantongi izin usaha tersebut, Tri Cahyo mempersilakan kepada wartawan untuk mengklarifikasinya langsung ke pihak pemerintah.

"Kalau soal itu (sangkaan pidana korporasi penyalahgunaan izin usaha di dalam kawasan hutan) jangan tanya saya, tanya kehutanan dong, karena itu kan kewenangan kehutanan, bukan kami," ujarnya.

Penjelasan tersebut diungkapkan Tri Cahyo merujuk keterangan ahli dari pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Dari keterangan ahli, Tri Cahyo mengklaim tidak ditemukan permasalahan yang kemudian bisa ditindaklanjuti ke tahap audit potensi kerugian negara oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), dalam hal ini BPKP Perwakilan NTB.

"Jadi, kasus ini tidak ada yang ditindaklanjuti ke BPKP, tidak ada audit," ucapnya.

Begitu juga dengan bukti dokumen kertas cek bernominal Rp110 juta yang diduga diterima AP dari PT APC untuk memuluskan izin usaha di dalam kawasan hutan pada tahun 2006, Tri Cahyo kembali menjelaskan bahwa alat bukti tersebut tidak kuat dijadikan dasar penyidik untuk melanjutkan kasusnya ke tingkat penuntutan.

"Uang itu tidak ada dicairkan, dia hanya mengendap begitu saja dalam cek, bahkan sudah kedaluwarsa, jadi itu tidak kuat alat buktinya," kata Tri Cahyo.

Untuk diketahui, kasus ini terbongkar berdasarkan hasil pengembangan kasus penerbitan 32 sertifikat hak milik (SHM) di dalam kawasan hutan Sekaroh oleh Kejaksaan Negeri Lombok Timur pada 2017.

Pada awalnya kejaksaan menemukan keberadaan bangunan milik perusahaan asing itu dari hasil pemetaan kawasan hutan lindung yang memiliki nomor register tanah kehutanan (RTK-15).

Dari penelusurannya diketahui bahwa bangunan yang ada di dalam kawasan RTK-15 dibuat oleh pihak perusahaan sebagai sarana penunjang usaha budi daya mutiara yang berada di pesisir pantai setempat.

Bangunan yang di antaranya berupa pos pengamanan, gudang penyimpanan dan tempat tinggal karyawan itu diketahui telah berdiri di dalam kawasan RTK-15 terhitung sejak tahun 2005.

Dengan adanya aktivitas tanpa izin di dalam kawasan hutan negara seluas tiga hektare itu, permasalahannya kemudian dilanjutkan ke dalam tahap penyidikan yang disertai dengan adanya penetapan tersangka.

Awalnya, Tim Penyidik Kejari Lombok Timur menetapkan PT APC sebagai tersangka korporasi, dengan dugaan pelanggaran pidana korupsi soal perizinan.

Sebagai tersangka korporasi yang hanya terancam pidana denda, PT APC dijerat dengan sangkaan Pasal 2 dan atau Pasal 3 dan atau Pasal 5 dan atau Pasal 13 dan atau Pasal 15 dan atau Pasal 20 UU RI No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU RI No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait dengan penetapannya, PT APC pernah mengajukan praperadilan, namun Pengadilan Negeri Selong menolak materinya dan meminta Kejari Lombok Timur untuk kembali melanjutkan penanganan perkaranya.

Seiring dengan penanganannya, muncul tersangka tambahan yakni seorang aparatur negeri sipil (ASN) pemerintahan yang diketahui masih duduk di kursi jabatan Pemerintah Provinsi NTB. Pejabat tersebut berinisial AP, mantan Kepala Dinas Kehutanan NTB.

Peran dan keterlibatannya terendus oleh tim penyidik kejaksaan ketika AP masih menduduki jabatan Kepala Bidang Planologi Dinas Kehutanan NTB,?di tahun 2005, bertepatan dengan adanya sarana penunjang PT APC di dalam kawasan RTK-15.

Indikasinya, pejabat AP berperan dalam memuluskan niat perusahaan asing tersebut membuka usaha di dalam kawasan Hutan Sekaroh tanpa harus mengantongi surat izin. Dalam perannya, AP diduga menerima imbalan dari PT APC yang nilainya mencapai Rp110 juta.

Karena itu dalam berkasnya, AP dijerat dengan sangkaan Pasal 2 dan atau Pasal 3 UU RI No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU RI No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.