Cerita asal usul arya banjar getas (2)

id Arya Banjar Getas

Cerita asal usul arya banjar getas (2)

Sejumlah kapal nelayan bersandar di tepi muara sungai Jangkuk kawasan Ampenan, Kota Mataram, NTB, Selasa (29/1/2019). Cuaca ekstrem yang terjadi dalam sepekan terakhir ini mengakibatkan banyak nelayan khususnya di wilayah Ampenan, Kota Mataram, NTB, memilih bertahan untuk tidak melaut. Berdasarkan hasil analisis dinamika atmosfer BMKG mengimbau masyarakat agar tetap waspada dan berhati-hatiĀ terhadap dampak yang dapat ditimbulkan dari curah hujan tinggi dan angin kencang yang akan terjadi pada akhir Januari 2019 ini dan khusus bagi masyarakat nelayan dan pesisir pantai di Selat Lombok, dan Selat Alas, untuk mewaspadai potensi gelombang tinggi yang perkiraannya mencapai empat meter lebih. (Foto Antaranews NTB/Dhimas BP)

Kemelut Pejanggik
Perburuan terhadap Arya Sudarsana terus dilakukan oleh pasukan Selaparang dan sekutunya. Mereka menyebar telik sandi ke berbagai wilayah yang dicurigai termasuk ke Pejanggik. Akhirnya, seorang telik sandi menerima kabar kalau Arya Sudarsana ada di Pejanggik. Informasi itu dilanjutkan secara berjenjang hingga sampai ke Selaparang.
Selang beberapa waktu, pasukan Selaparang dipimpin Dipati Ranggabaya menuju Pejanggik membawa surat Raja Selaparang, Pemban Kertabhumi.

Pertemuan utusan Selaparang dengan Pemban Pejanggik, Mraja Kesuma berlangsung di bencingah purnang. Namun, pertemuan itu tidak membuahkan hasil. Raja Pejanggik tetap pada keputusannya melindungi Arya Sudarsana. Akhirnya, Dipati Ranggabaya pulang ke Selaparang dengan tangan hampa. Kondisi ini menimbulkan keretakan hubungan antara Selaparang dengan Pejanggik.

Arya Sudarsana yang mendapat perlindungan dari Raja Pejanggik, semakin akrab. Keakraban ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan istana. Bahkan Arya Sudarsana atau Arya Banjar mendapat  tambahan nama Getas karena telah berpindah (beralih).
Ini terlihat dalam Babad Selaparang Pupuh 156, “Tegesing Getas sampun krusakin, tegesing Banjar akediq leretannya pan dados lurah hing desa alit, semangkanepun Arya Sudarsana dukring mangkin namane Arya Banjar Getas, kewastra hing sedaya iku, pan kesiaran dining Nalendra, kewarnaha permadi nira seribupati, rangga, pepatih lan demung-demang”.

Pemban Pejanggik pada 1718 mengangkat Arya Banjar Getas  sebagai patih Pejanggik. Dengan kekuasaanya,  Arya Banjar Getas menjalankan politik Rerepeq (menjatuhkan / merubuhkan= menaklukan ) kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Pejanggik dan  Pejanggik tumbuh menjadi kerajaan besar.
Sayangnya, besarnya wilayah Pejanggik  dibayangi kecemburuan sosial di kalangan istana. Rangga Tapon, Patih Pejanggik merasa diabaikan oleh rajanya. Sehingga ia tidak lagi menghadiri pertemuan istana. Hal ini menimbulkan pertanyaan di hati Pemban Pejanggiq.

Raja Pejanggik memerintahkan Bapen Punyut menanyakan kenapa Patih Rangga Tapon tidak menghadap ke istana. Atas pertanyaan itu, raja mendapat jawaban seperti tertuang dalam Babad Selaparang pupuh 164.

“…..Wong Tapon tan ayun malih, hanangkil maring sang raja, mapan sang prabu nora tindih, pemadi kang pedek dadi tebih, punika harana katingsun, wani lengga neng sira, semangkana ucapan ning tulis, serat dadi tinampan seraka mantuka”.

“..Orang Tapon tak sudi menghadap lagi kepada raja, karena prabu Mraja tidak konsekuen. Abdinya yang setia mati-matian jadi tersingkirkan. Itulah sebabnya sampai berani membantah, tak taat pada perintah."

Setalah membaca surat dari patih Tapon, raja Pejanggik tersinggung. Ia memerintahkan untuk menyerang Tapon dan Arya Banjar Getas (ABG) menerima perintah itu.

Sesampai di Tapon, untuk menghindari korban tidak bersalah, ABG menemui Rangga Tapon dan terjadi perang tanding. Rangga Tapon berhasil dikalahkan dan berjanji akan kembali mengabdi ke Pejanggik.

Namun, era kebesaran Pejanggik diwarnai konflik antara ABG dengan Pemban Pejanggik. Lalu Lukman menulis, konflik diawali perilaku raja yang tidak senonoh. Raja yang tergila-gila kepada istri ABG, Lala Junti mencoba menodainya ketika ABG sedang menjalankan tugas ke Bali.

Hal ini menimbulkan kemarahan ABG dan akhirnya memberontak kepada Pejanggik pada 1692. Kewalahan menghadapi pasukan Pejanggik, ABG melarikan diri meminta Bantuan kerajaan Karang Asem Bali.

Sedang Lalu Azhar menyebut, kepergian ABG ke Karang Asem akibat konflik keluarga. Di Karang Asem, ABG bertemu I Gusti Bagus Alit dan mengajaknya bertemu raja Karang Asem, Anak Agung Ngurah Karang Asem.

Di Karang Asem, ABG mendapat penawaran bantuan pasukan jika ia akan menyerang Selaparang namun terlebih dahulu harus menyerang Pejanggik. Setelah ada kesepakatan,  ABG pulang ke Memelaq sambil menunggu pasukan dari Karang Asem.

Pada 1721, pasukan kerajaan Karang Asem tiba di Ampenan.  Sesampainya di Ampenan,  pasukan Karang Asem bergerak ke Memelaq bergabung dengan pasukan ABG. Setelah persiapan matang, pasukan gabungan  melakukan penyerangan  ke Pejanggik. Peperangan terjadi beberapa kali hingga Pejanggik dapat ditaklukan pada 1722.

 
Kedatuan Arya Banjar Getas
Setelah menaklukan Pejanggik,  tahun 1723 pasukan gabungan ABG dan Karang Asem menyerang  Selaparang  takluk  pada 1725.
Sesudah menaklukan Selaparang, ABG dengan anak Agung Ngurah Karang Asem membuat kesepakatan. Dalam kesepakatan itu,  wilayah Timur Juring diserahkan ke ABG dan wilayah Barat Juring menjadi kekuasaan Anak Agung. Kesepakatan ini dikenal dengan Perjanjian Timur dan Barat Juring  dengan batas Sungai Pandan, Sweta penanteng Aik, Pelambik, Ranggagata dan Belongas.

Setelah pembagian wilayah, ABG kembali ke Memelaq, melakukan konsolidasi dengan para penguasa bekas wilayah kerajaan pejanggik. Atas kepiawaiannya, ABG mendapat dukungan dari kerajaan-kerajaan kecil dan  dan membangun kerajaan di Memelaq. Kerajaan yang dibangun ABG dikenal dengan nama kerajaan Memelaq. Belakangan, kerajaan Memelaq lebih dikenal dengan  kerajaan Arya Banjar Getas.

Selama membangun kerajaan, ABG I (1725 -1740) tidak sepi dari pemberontakan seperti pemberontakan Datu Bayan, Datu Kedinding dan lainnya.

Banyaknya peberontakan mengakibatkan pembangungan yang dilaksanakan ABG tidak berjalan dengan baik. Namun demikian, ia berhasil menanamkan nilai-nilai yang berpedoman pada agama islam sehingga hidup rakyat dibawah panji Arya Banjar Getas lebih islami.

Sebelum wafatnya pada 1742, ABG I menitipkan pesan kepada penerusnya Raden Ronton (ABG II) agar membangun kerajaannya berdasarkan syariat Islam. Demi lebih tertatanya kerajaan, ABG I pun meminta Raden Ronton memindahlah pusat kerajaan ke tempat  yang lebih strategis.

Raden Ronton (ABG II) yang menggantikan ayahnya pada 1740, memenuhi wasiat ayahnya dengan memindahkan  pusat kerajaan ke hutan Berora (Praya). Setelah dua tahun, pada 1742 istana yang dibangun Raden Ronton di hutan Berora selesai. Pada tahun yang sama, ABG II memindahkan pusat kerajaannya ke Praya.

Walau pusat kerajaan sudah pindah ke Praya, kerajaan Banjar Getas tidak sepi dari pemberontakan. Hingga  akhir masa pemerintahan ABG II yakni pada  1764, kerajaan selalui diwarnai pemberontakan.
Pada 1764, ABG II digantikan RadenLombok (ABG III). Di masa pemerintah ABG III, keamanan wilayah kerajaan Arya Banjar Getas tidak lepas dari peperangan hingga mengganggu kedaulatan kerajaan. Beberapa wilayah di timur juring mulai lepas dan menjadi wilayah kerajaan Singasari.

Deneq  Bangli naik tahta sebagai ABG IV menggantikan ABG III. Lagi-lagi, kekuasaan ABG IV tidak lepas dari gangguan keamanan dan kaburnya batas-batas wilayah sesuai perjanjian Timur dan Barat Juring.
Bahkan pada masa ABG IV ini timbul pemberontakan Demung Selaparang. Walau pemberontakan Demung Selaparang berhasil dipadamkan, namun wilayah kerajaan ABG semakin banyak yang berpindah ke kekuasaan Singasari.

Pada 1784 Raden Mumbul naik tahta dan menjadi ABG V. Kondisi kerajaan makin memprihatinkan ditambah meletusnya Gunung Rinjani pada 1817. Kondisi ini semakin menyulitkan rakyat kerajaan Aya Banjar Getas.

Sepeninggal Raden Mumbul, roda pemerintahan  kerajaan Arya Banjar Getas dikendalikan Raden Wiratmaja (ABG VI) 1818 -1836.

Pada 1826, kerajaan Purwa (Sakra) menyerang kerajaan Singosari. ABG VI memberikan bantuan penuh kepada kerajaan Purwa.

Begitupun ketika Mataram menyerang Singasari  pada 1838. Praya memberikan bantuan hingga Mataram memperoleh kemenganan atas Singosari.

Selanjutnya, Raden Wiracandra naik tahta pada  1839 hingga 1841 dengan gelar ABG VII.    Pada masa ABG VII inilah terjadi congah (Perang) Praya I.

Adapun sebab-sebab terjadinya perang Praya menurut catatan diantaranya penguasa Bali mulai dari Singasari hingga Mataram mengingkari perjanjian timur dan barat Juring. Akibatnya, wilayah kekuasaan kerajaan Arya Banjar Getas semakin berkurang. Disamping adanya fitnah yang menyebutkan Praya (Raden Wiracandra)  akan melakukan serangan ke Mataram.

Setelah terjadi beberapa kali peperangan antara Praya dengan Mataram yang dibantu para sekutunya, pada pertempuran besar di tahun  1841  Raden Wiracandra (ABG VII) berhasil dibunuh. Kematian Raden Wirancandra memadamkan congah Praya.
Berakhirnya perang Praya menandai akhir kerajaan Arya Banjar Getas.  Walau Praya masih dipimpin oleh keturunan ABG namun menjadi bawahan kerajaan Mataram. (TAMAT)