Surabaya (ANTARA) - Setiap tahun, lebih dari 900 ribu anak muda Indonesia menapaki gerbang perguruan tinggi negeri melalui jalur Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) dan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Sementara itu, jutaan lulusan SMA lainnya berjuang mencari kesempatan belajar dengan menyusuri jalur mandiri, atau memilih kuliah di perguruan tinggi swasta, maupun jalur pendidikan lainnya. Siklus ini terus berulang setiap tahun, menjadi cermin harapan dan tanggung jawab besar perguruan tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, di balik antusiasme itu, tersimpan tantangan besar yang perlu kita jawab bersama. Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 31,45%. Ini berarti dari setiap 100 penduduk usia 19–23 tahun, hanya sekitar 31 orang yang menempuh pendidikan tinggi. Angka ini memang menunjukkan peningkatan dibanding satu dekade sebelumnya, tetapi masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga di kawasan ASEAN. World Bank mencatat bahwa APK Malaysia sudah mencapai 43%, Thailand 49,29%, bahkan Singapura menyentuh angka 91,09% (World Bank, 2022).
Disparitas ini menjadi alarm bagi kita semua. Pendidikan tinggi adalah salah satu pilar strategis pembangunan nasional. Ia bukan semata ruang akademik, tetapi juga medan pembentukan karakter, pengembangan inovasi, dan penggerak mobilitas sosial. Bila kita sungguh-sungguh ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi harus menjadi prioritas nasional.
Presiden terpilih, Prabowo Subianto, mengundang pimpinan perguruan tinggi negeri dan swasta ke Istana Negara pada 13 Maret 2025. Saya termasuk salah satu yang berkesempatan hadir dan menyimak langsung arahan beliau. Dalam pidatonya, Presiden menegaskan pentingnya mewujudkan empat amanat konstitusi, yakni melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dari keempat amanat tersebut, pendidikan menempati posisi kunci. Tanpa manusia yang cerdas dan berkarakter, tiga tujuan lainnya akan sulit untuk dicapai.
Contoh konkret kontribusi dunia pendidikan dapat dilihat dari kiprah Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Sejak berdiri, ITS telah meluluskan lebih dari seratus ribu alumni, terutama di bidang teknik dan sains. Dalam dua dekade terakhir, cakupan keilmuan ITS terus berkembang—mencakup desain kreatif, manajemen bisnis, studi pembangunan, hingga ilmu kesehatan. Para lulusan ITS kini berkiprah di berbagai sektor: dari BUMN hingga start-up teknologi, dari pelosok desa hingga pusat kebijakan nasional, bahkan hingga mancanegara. Ini merupakan bukti nyata bahwa perguruan tinggi mampu menjadi mesin penggerak kemajuan bangsa.
Kampus sebagai Lokomotif Kemajuan
Peran kampus sebagai lokomotif kemajuan tidak boleh terhenti pada lingkup perguruan tinggi besar atau kampus-kampus elit semata. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan perlu membuka lebih banyak jalur akses menuju pendidikan tinggi, khususnya bagi anak-anak muda dari keluarga prasejahtera, wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), serta mereka yang selama ini belum memiliki kesempatan untuk mengenyam bangku kuliah. Langkah konkret dapat diwujudkan melalui program afirmasi beasiswa, pembangunan kampus cabang, revitalisasi pendidikan vokasi, hingga penguatan sistem pendidikan jarak jauh berbasis digital.
Pendidikan tinggi juga harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Kurikulum yang adaptif, riset yang aplikatif, dan kemitraan yang sinergis dengan dunia industri menjadi keniscayaan. Mahasiswa perlu dibekali dengan kompetensi abad ke-21: berpikir kritis, kemampuan lintas disiplin, literasi digital, dan etika profesional. Sebab, tantangan masa depan tidak akan diselesaikan oleh ijazah semata, melainkan oleh integritas dan kemampuan untuk terus belajar.
Seperti yang pernah ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara (1930), “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.” Pandangan ini masih relevan hari ini, terutama dalam konteks pendidikan tinggi, yakni bagaimana kampus dapat mencetak lulusan yang utuh, adaptif, dan kontributif terhadap masyarakat sekitarnya.
Hal serupa diungkapkan oleh Amartya Sen (1999), ekonom India peraih Nobel Ekonomi. Dalam bukunya Development as Freedom, ia menegaskan bahwa, "Education is not just about literacy and numeracy, but about expanding human capabilities." Dengan demikian, pendidikan tinggi tidak hanya bertugas mencetak lulusan untuk dunia kerja, tetapi harus memperluas cakrawala berpikir, memperkuat kebebasan, dan meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh.
Pendidikan Tinggi sebagai Nafas Peradaban
Saatnya kita meninjau ulang ekosistem pendanaan pendidikan tinggi di Indonesia. Saat ini, banyak Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang berjuang keras menjaga keseimbangan antara kemandirian keuangan dan keterjangkauan biaya pendidikan. Di sinilah negara harus hadir, bukan semata sebagai regulator, tetapi sebagai penjaga asa agar kemandirian tidak berubah menjadi eksklusivitas. Pendidikan tinggi yang benar-benar strategis adalah yang dapat diakses oleh sebanyak mungkin anak bangsa, tanpa mengorbankan mutu dan daya saingnya.
Membangun kecerdasan bangsa bukan sekadar urusan mendirikan gedung atau menambah jumlah program studi. Ia menuntut visi jangka panjang, keberanian untuk berinvestasi dalam manusia, dan strategi nasional yang konsisten dan berkelanjutan. Dibutuhkan dukungan anggaran yang memadai, kolaborasi lintas sektor, serta yang terpenting adalah komitmen moral dari semua pemangku kepentingan untuk menempatkan pendidikan sebagai nafas peradaban, bukan sekadar pelengkap pembangunan.
Jika kita sungguh menginginkan Indonesia menjadi bangsa yang adil, maju, dan sejahtera, maka tak ada pilihan lain selain menempatkan pendidikan tinggi di jantung kebijakan nasional. Dari kampus, lahir inovasi dan terobosan. Dari ruang-ruang kelas dan laboratorium, tumbuh pemimpin masa depan. Dan dari semangat akademik yang dijaga dengan integritas, cita-cita kemerdekaan itu akan terus menyala dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
*) Penulis adalah Guru Besar Teknik Kimia, dan Dekan Fakultas Teknologi Industri dan Rekayasa Sistem (FTIRS) – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)