Mataram (ANTARA) - Kekerasan di balik pintu rumah
Di balik pintu-pintu rumah yang tampak tenang, sering kali tersembunyi dinamika penuh tekanan, tangis yang dibungkam, serta luka-luka yang tak terlihat.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling sulit dideteksi, namun paling sering terjadi. Meski ada peningkatan upaya pelaporan, banyak kasus tetap berakhir dalam diam.
Dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), isu KDRT kembali menjadi titik sorotan. Karena meski negara telah memiliki perangkat hukum dari UU Penghapusan KDRT (PKDRT) hingga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi permasalahan struktural yang belum terselesaikan.
Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) pola kasus kekerasan perempuan dan anak menunjukkan tren yang konsisten meningkat.
Sepanjang 2025, laporan kekerasan telah menembus lebih dari 100 kasus, dan sebagian besar berasal dari wilayah domestik.
Plt Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Mataram, Yunia Arini, menjelaskan bahwa meningkatnya angka laporan bukan semata bertambahnya insiden, melainkan karena kesadaran masyarakat untuk melapor mulai menguat.
“Sekarang masyarakat lebih berani melapor. Itu perkembangan yang sangat positif karena artinya korban tidak lagi diam ketika mengalami kekerasan,” ujar Yunia dalam sebuah kegiatan edukasi publik di Mataram .
Namun, di balik angka pelaporan itu, banyak kisah yang tak sempat muncul. Banyak perempuan memilih bertahan meskipun mengalami kekerasan bertahun-tahun.
Motifnya beragam, yakni takut stigma sosial, mengupayakan anak tetap memiliki figur keluarga utuh, atau karena keterikatan ekonomi dengan pelaku.
Tekanan ekonomi juga menjadi pemicu konflik yang sering luput dibicarakan. Situasi pascapandemi membuat banyak keluarga menghadapi tekanan finansial, yang dalam beberapa rumah tangga memunculkan ketegangan emosional dan ledakan kekerasan.
Kekerasan tidak selalu berupa fisik. Kekerasan verbal, kontrol ekonomi, pengabaian, hingga kekerasan seksual dalam pernikahan adalah bentuk-bentuk lain dari KDRT yang sering tidak diakui sebagai kekerasan.
Padahal dampak psikologisnya sangat dalam, meninggalkan trauma jangka panjang yang memengaruhi kepercayaan diri, kesehatan mental, dan masa depan korban.
Salah satu perubahan signifikan dalam beberapa tahun terakhir adalah meningkatnya kesadaran bahwa KDRT adalah tindak pidana, bukan sekadar konflik rumah tangga.
UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kota Mataram kini menjalankan layanan hotline 24 jam yang memungkinkan korban mengakses bantuan lebih cepat.
Ketua TP PKK NTB, Sinta Agathia, menilai peningkatan pelaporan adalah momentum penting yang harus dijaga. “Korban harus merasa didengar, didampingi, dan aman ketika melapor. Pelibatan polisi perempuan juga sangat penting karena banyak korban lebih nyaman berbicara dengan Polwan,” ujarnya saat sosialisasi gerakan anti-kekerasan di Lombok Timur .
Sekolah juga memainkan peran baru. Di Kota Mataram dan kabupaten lain, satgas pencegahan kekerasan terhadap anak dibentuk untuk mendeteksi dini kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Hal ini memperpendek jalur pelaporan dan membuat anak-anak lebih terlindungi.
Namun begitu, kenaikan laporan belum selalu diikuti oleh kualitas penanganan yang merata.
Di sejumlah kasus, keluarga masih memilih “jalan damai”, dengan alasan menjaga nama baik keluarga atau karena pelaku berjanji berubah. Tanpa pendampingan profesional, pola kekerasan sangat mungkin berulang.
KDRT dan problem relasi kuasa
Akar dari KDRT tidak bisa dipisahkan dari norma-norma patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat. Perempuan sering kali ditempatkan sebagai pihak yang harus mengalah, atau dinilai bertanggung jawab menjaga keharmonisan rumah tangga.
Narasi seperti “istri harus sabar” atau “jangan buka aib keluarga” masih sering terdengar, dan menjadi penghambat terbesar korban mencari pertolongan.
Anggota Komnas Perempuan Yuni Asriyanti menegaskan bahwa persoalan kekerasan dalam rumah tangga adalah persoalan struktural, bukan personal.
“KDRT bukan sekadar masalah dua individu. Ia lahir dari relasi kuasa yang timpang dan budaya yang membenarkan kontrol terhadap perempuan,” ujarnya dalam laporan tahunan Komnas Perempuan. .
Relasi kuasa yang timpang inilah yang membuat banyak korban sulit keluar dari siklus kekerasan. Pelaku sering menggunakan manipulasi emosional, ancaman finansial, hingga intimidasi untuk mempertahankan kontrol.
Tren kekerasan siber juga memperparah keadaan. Kekerasan digital seperti penyebaran konten intim, ancaman online, atau pengawasan lewat gawai menjadi instrumen baru yang digunakan pelaku untuk menekan korban, bahkan ketika mereka berada jauh secara fisik.
Ketua TP PKK Dompu Onti Farianti Bambang Firdaus mengingatkan bahwa ancaman di dunia digital sama berbahayanya dengan kekerasan fisik.
“Anak-anak dan perempuan sekarang rentan bukan hanya di ruang fisik, tapi juga di ruang digital. Bijaklah menggunakan media sosial, dan jangan ragu melapor jika terjadi kekerasan,” ujarnya dalam sosialisasi di Lombok .
Menghapus KDRT tidak cukup hanya dengan memperkuat aturan hukum. Upaya itu membutuhkan sebuah ekosistem perlindungan yang bekerja lintas tingkat—dari ruang keluarga hingga kebijakan pemerintah pusat.
Di tingkat akar rumput, layanan UPTD PPA harus diperluas hingga menjangkau kecamatan dan desa. Keberadaan kader, relawan, tokoh masyarakat, dan guru yang terlatih menjadi kunci dalam mendeteksi tanda-tanda kekerasan sejak dini.
Langkah seperti yang mulai dilakukan Kota Mataram melalui pendidikan publik yang intensif menunjukkan bahwa pencegahan hanya dapat berjalan jika masyarakat ikut mengambil peran.
Dalam lingkup keluarga, pendidikan pra-nikah dan konseling pasangan perlu diperkuat. Banyak kasus KDRT bermula dari pola komunikasi yang buruk dan ketidakmampuan mengelola emosi.
Melalui konseling, kampanye komunikasi sehat, dan pendampingan pranikah, potensi konflik yang berujung kekerasan dapat ditekan. Pencegahan ini menempatkan keluarga sebagai titik awal relasi yang setara dan aman.
Di tingkat kebijakan, pengarusutamaan gender harus menjadi prinsip yang melekat dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Deputi KemenPPPA, Desy Andriani, menegaskan pentingnya sinergi lintas lembaga dalam perlindungan perempuan.
“Kekerasan terjadi di banyak ruang, tidak cukup ditangani satu pihak. Harus ada kolaborasi dan anggaran yang responsif gender,” ujarnya dalam Peringatan 16 HAKTP di Jakarta.
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa perlindungan perempuan tidak boleh diperlakukan sebagai program tambahan, tetapi harus menjadi prioritas pembangunan.
Penegakan hukum juga memerlukan pendekatan yang lebih sensitif terhadap korban. Aparat harus memastikan proses pelaporan menjadi ruang aman, bukan trauma kedua.
Pelibatan polisi perempuan, ruang pemeriksaan ramah korban, serta layanan pendampingan psikologis harus menjadi standar dalam setiap penanganan kasus. Ketika aparat memahami perspektif korban, peluang untuk mendapatkan keadilan menjadi lebih besar.
Pada akhirnya, pemulihan korban harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Dukungan psikologis, konseling, bantuan hukum, hingga penguatan ekonomi merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dari proses penanganan KDRT.
Tanpa pemulihan yang menyeluruh, banyak korban terpaksa kembali ke lingkungan yang sama dan menghadapi pelaku yang sama.
Ekosistem perlindungan yang kuat hanya dapat tercipta jika negara, masyarakat, dan keluarga bergerak bersama untuk memastikan setiap perempuan aman, didengar, dan dilindungi.
Rumah jadi ruang aman
Kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang paling sering disembunyikan, namun dampaknya paling menghancurkan.
Ia merusak rasa aman, martabat manusia, dan masa depan keluarga. Karena itu, momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan harus menjadi pengingat bahwa perjuangan menghapus KDRT tidak boleh berhenti.
Rumah idealnya adalah ruang yang penuh kasih, bukan ruang yang mengekalkan luka. Ruang tempat perempuan merasa aman, bukan takut. Ruang tempat komunikasi membangun, bukan kekerasan merusak.
Perlindungan perempuan tidak dapat berjalan tanpa keberanian korban, dukungan keluarga, ketegasan aparat, dan kebijakan yang berpihak. Ketika semua unsur bekerja bersama, rumah dapat kembali menjadi tempat teraman. Tempat yang tidak lagi menyimpan tangis dalam sunyi.
Baca juga: Membaca ulang kekerasan terhadap perempuan (Bagian 1)
Baca juga: Membaca ulang kekerasan terhadap perempuan (Bagian 3)
