Mataram, 23/10 (ANTARA) - Alih fungsi lahan pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai rata-rata 1.500 ha per tahun atau sekitar empat persen dari total luas lahan pertanian di daerah itu, antara lain untuk pemukiman, perkantoran, dan fasilitas umum.
Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Pending Dadih Permana di Mataram, Jumat mengatakan, kondisi itu menyebabkan terjadinya penyempitan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi kehidupan para petani yang terancam rawan pangan.
Menurut data Badan Pangan Sedunia (FAO) pada tahun 2009 jumlah penderita rawan pangan sebanyak 105 juta jiwa orang, sekarang ini terdapat 1,02 milyar penderita malnutrisi di dunia.
Artinya nyaris seperempat dari penduduk dunia yang menderita rawan pangan, hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk dunia yang terus bertambah setiap tahunnya sedangkan sumberdaya pertanian cenderung terus berkurang.
Untuk itu, katanya, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan sampai ketingkat rumah tangga, ada tiga unsur yang harus diperhatikan dan dilaksanakan secara beriringan yakni sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi.
"Dari ketiga unsur tersebut, alhamdulillah, bagi kita di Provinsi NTB saat ini ketersediaan cadangan pangan cukup memadai, bahkan surplus, berdasarkan angka ramalan tahun 2009 produksi gabah kering giling NTB sebesar 1.861.781 ton atau setara beras 1.054.248 ton," ujarnya.
Jika dihitung dengan situasi konsumsi penduduk NTB sebesar 121,7 kg per kapita per tahun, surplus beras di Provinsi NTB sebesar 523.179 ton, dengan perhitungan produksi gabah 1.861.781 ton gabah kering giling (GKG).
Kalau dihitung penyusutan 150.895 ton, produksi gabah bersih 1.710.886 ton GKG atau setara beras 1.054248 ton, jika jumlah penduduk 4.363.756 jiwa kebutuhan beras (121,7 kg/kap/thn) 531.069 ton sehingga masih surplus beras 523.179 ton.
Dia mengatakan, surplus beras inilah yang kemudian sebagian dikirim keluar daerah, untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di provinsi lainnya, namun dalam upaya meningkatkan ketahanan di NTB, surplus cadangan pangan tersebut perlu dikelola dengan sebaik-baiknya.
Dalam kaitan itu, katanya, perlunya dibentuk cadangan pangan, seperti melalui gerakan lumbung pangan masyarakat desa, pengembangan tunda jual dan pengembangan lembaga distribusi pangan masyarakat (LDPM) untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya paceklik terutama pada daerah-daerah yang selama ini terdeksi sebagai daerah yang tergolong dalam peta rawan pangan.
Pembangunan sub sistem ketersediaan pangan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor.
Menurut dia, pembangunan sub sistem distribusi mencakup aksesibilitas pangan antarwilayah dan antarwaktu serta stabilitas harga pangan strategis. Pembangunan sub sistem konsumsi mencakup jumlah, mutu gizi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. (*)