Warga NTB suarakan konflik lahan di kawasan Mandalika Resort

id Warga NTB suarakan konflik lahan di kawasan Mandalika Resort

Warga NTB suarakan konflik lahan di kawasan Mandalika Resort

Sekitar 150 orang warga yang tergabung dalam Sekretariat Bersama untuk Kedilan Agraria di Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali menggelar unjuk rasa di depan kantor gubernur, di Mataram, Rabu, guna menyuarakan konflik lahan di kawasan Mandalika Resort.

"Karena itu hentikan intimidasi terhadap warga di kawasan Mandalika, hentikan penggunaan pam swakarsa dan preman bersenjata dalam mengamankan pembangunan jalan dan lainnya oleh PT BTDC," ujar Lukmanul Hakim.
Mataram (Antara Mataram) - Sekitar 150 orang warga yang tergabung dalam Sekretariat Bersama untuk Kedilan Agraria di Nusa Tenggara Barat (NTB), kembali menggelar unjuk rasa di depan kantor gubernur, di Mataram, Rabu, guna menyuarakan konflik lahan di kawasan Mandalika Resort.

Unjuk rasa serupa digelar 21 Januari 2014, namun kali ini jumlah massa jauh lebih banyak dari aksi sebelumnya yang hanya sekitar 50 orang, dan tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTB yang merupakan gabungan elemen organisasi petani, kepemudaan, dan mahasiswa.

Aksi massa kedua yang dikoordinir oleh Lukmanul Hakim SH di depan pintu gerbang Kantor Gubernur NTB itu, nyaris ricuh karena kelompok pengunjuk rasa hendak menyerbu masuk kompleks kantor pemerintah itu, namun dihadang oleh aparat kepolisian dan Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP).

Pintu gerbang Kantor Gubernur NTB yang terbuat dari besi itu sempat digoyang hendak dirobohkan, namun polisi dan Satpol PP berupaya membendung aksi tersebut, hingga seorang perwira polisi menggunakan pengeras suara dan mengancam akan bertindak tegas jika mencuat aksi anarkis dalam unjuk rasa tersebut.

Pengunjuk rasa kemudian membatalkan rencana masuk paksa ke dalam kompleks Kantor Gubernur NTB itu, hingga unjuk rasa kembali "sejuk" yang hanya diwarnai orasi secara bergantian.

Para pengunjuk rasa itu merupakan gabungan dari sejumlah organisasi kepemudaan dan mahasiswa serta masyarakat petani, seperti Serikat Pekerja Indonesia (SPI) Wilayah NTB, LBH Reform, FMN Mataram, Walhi NTB, LSM Suaka Lombok Tengah, KPSPM NTB, dan Pilar Seni Mataram.

Isu utama unjuk rasa itu yakni tindakan yang dilakukan sekelompok warga yang membawa senjata tajam seperti tombak, dan mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Mandalika Resort (FMPMR), terhadap kelompok warga yang mengklaim sebagai pihak yang berhak atas sejumlah bidang lahan di kawasan pengembangan pariwisata terpadu Mandalika Resort.

Tindakan kelompok FMPMR itu mengarah kepada upaya "membela" manajemen PT Pengembangan Pariwisata Bali (BTDC) yang tengah membangun infrastruktur dasar untuk pengembangan kawasan pariwisata terpadu Mandalika Resort.

BTDC merupakan BUMN Indonesia yang dipercayakan mengembangkan kawasan pariwisata terpadu di Pulau Lombok bagian selatan itu, karena dianggap sukses dalam pengembangan kawasan Nusa Dua, Bali.

BTDC pun telah bermitra dengan MNC, dan Gobel Internasional untuk mengembangkan kawasan terpadu di Mandalika, dan dua perusahaan nasional itu kemudian menggandeng Club Med, untuk membangun dan mengelola hotel eksotik di kawasan Mandalika, yang mereka namai Mandalika Smart Resort.

Perusahaan Perancis yang bergerak di bidang resor dan memiliki cabang di seluruh dunia, dan biasanya terdapat di lokasi eksotis.

MNC dan Gobel Internasional yang mendanai pembangunan hotel berbintang dan fasilitas pendukungnya, yang nantinya dikelola Club Med.

Saat ini, MNC dan Gobel serta Club Med tengah menyusun desain detail pembangunan hotel berbintang, lapangan golf dan fasilitas pendukungnya dengan dukungan anggaran Rp600 miliar itu. Diperkirakan desain itu rampung paling cepat akhir tahun ini, sehingga awal 2015 sudah ada realisasi fisiknya.

Sementara kelompok yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) NTB dan Sekretariat Bersama untuk Kedilan Agraria NTB, merupakan pihak yang berlawanan atau menolak proses pembangunan yang dilakukan BTDC.

Mereka menolak BTDC karena beranggapan bahwa masih ada hak mereka atas sejumlah bidang lahan di kawasan Mandalika Resort.

Menurut koordinator aksi massa Lukmanul Hakim, mereka melakukan unjuk rasa guna mengecam kelompok FMPMR yang menurut mereka masih melakukan intimidasi terhadap mereka.

"Karena itu hentikan intimidasi terhadap warga di kawasan Mandalika, hentikan penggunaan pam swakarsa dan preman bersenjata dalam mengamankan pembangunan jalan dan lainnya oleh PT BTDC," ujar Lukman dalam orasinya.

Lukman juga mengungkapkan desakan warga agar aparat kepolisian menyikapi permasalahan tersebut karena rentan terjadi konflik antarkelompok warga.

Lahan yang menjadi sumber konflik kelompok masyarakat itu merupakan bagian dari 135 hektare lahan di kawasan Mandalika Resort yang masih dinyatakan bermasalah, sehingga menjadi kendala teknis bagi BTDC dan investor mitranya untuk membangun kawasan pariwisata terpadu.

Lahan seluas 135 hektare itu juga merupakan bagian dari HPL atas lahan kawasan Mandalika Resort seluas 1.175 hektare yang diserahkan Pemprov NTB untuk dikembangkan BTDC beserta investor mitranya.

Terkait unjuk rasa tersebut, pihak Pemprov NTB tidak meladeninya, karena sudah memfasilitasi dialog ketika unjuk rasa pertama pada 21 Januari 2014.

Saat itu, Sekretaris Daerah (Sekda) NTB H Muhammad Nur yang mewakili Pemprov NTB menyarankan pihak yang merasa keberatan atas lahan yang dipergunakan untuk pengembangan kawasan pariwisata terpadu Mandalika Resort, agar menghubungi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Tengah, yang telah siap memfasilitasi penyelesaiannya.

Namun, dalam memperjuangkan hak atas tanah yang disengketakan itu, harus disertai alas hak yang jelas.

"Sesuai arahan Pak Gubernur, sebaiknya pihak-pihak yang bertikai duduk bersama kemudian bahas masalahnya dan tempuh solusi terbaik," ujar Nur. (*)