PEMILIK KAYU "OMPRONGAN" MENGAKU SETOR KE APARAT

id

     Mataram (ANTARA) - Para pemilik kayu untuk "omprongan" atau pengovenan tembakau yang disita Tim NTB Raya mengaku memberikan uang setoran kepada sejumlah aparat di setiap kecamatan agar mereka diizinkan jalan.

     "Uang setoran tersebut berkisar antara Rp10 ribu hingga Rp15 ribu. Itu wajib disetor," kata Maradi, salah seorang sopir truk sekaligus pemilik kayu yang disita aparat, di Mataram, Kamis.

     Tim NTB Raya pada Rabu (22/9) malam menyita 18 truk dan satu mobil carry yang diduga mengangkut kayu hasil perambahan hutan.

     Kayu yang diduga hasil perambahan hutan secara ilegal di kawasan hutan lindung di Lombok Utara itu rencananya akan dibawa ke sejumlah pemilik omprongan tembakau di wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur.

     Menurut Mariadi sopir truk yang mengangkut kayu untuk omprongan tembakau mengeluarkan biaya memperlancar perjalanan hingga ke tujuan sebesar Rp100 ribu hingga Rp150 ribu setiap kali jalan.

     Pemberian uang setoran tersebut dimulai dari aparat desa dan aparat lainnya di wilayah Lombok Utara seperti di Kecamatan Bayan, Kayangan, Gondang dan Tanjung. Tergantung lokasi penebangan kayu.

     Ia mengatakan setoran uang dengan nilai belasan ribu rupiah per pos tersebut berlanjut hingga ke Kabupaten Lombok Barat seperti di pos Kecamatan Gunung Sari dan Narmada, serta berhenti di wilayah yang menjadi tujuan pengiriman kayu untuk omprongan tembakau," katanya.

     "Kalau tujuan pengiriman kayunya sampai Lombok Tengah, kami hanya membayar sampai di kabupaten itu. Tetapi kalau tujuan pengiriman sampai Lombok Timur, kami harus bayar lagi di sejumlah pos yang ada di Lombok Tengah," katanya.

     Udin, sopir truk lainnya mengaku, kegiatan pengiriman kayu untuk omprongan tembakau sudah berlangsung hampir dua tahun atau tepatnya sejak terjadinya gejolak kelangkaan dan tingginya harga minyak tanah.

     Kayu tersebut diperoleh dengan cara membeli dari para pemilik kebun yang ada di Lombok Utara. Proses penebangan kayu dilakukan sendiri dengan memakai tenaga kerja bayaran.

     Untuk memperoleh izin penebangan, ia mengaku, harus mengurus izin terlebih dahulu di kantor desa setempat dengan membawa surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) pajak bumi dan bangunan (PBB) milik warga yang menjual kayunya.

     "Setiap melakukan penebangan, kami harus membawa SPPT pemilik lahan ke kantor lurah. Kalau tidak, kami tidak bisa menebang, padahal yang ditebang bukan jenis pohon yang biasa tumbuh di hutan," katanya.

     Mariadi dan Udin sama-sama mengaku sejak dua tahun menggeluti bisnis kayu untuk omprongan tembakau baru kali ini Dinas Kehutanan NTB melakukan penyitaan.

     Mereka mempertanyakan alasan penahanan yang dilakukan hingga Kamis (23/9) karena jenis kayu yang dibawa hanyalah kayu mangga, nangka dan asam yang tergolong bukan kayu hutan.

     "Kalau begini, kami tidak bisa mencari nafkah buat keluarga karena truk masih disita. Telepon genggam juga disita. Keluarga belum tahu kalau kami ditahan di sini," katanya. (*)